TURISIAN.com – “Sai Bumi Ruwa Jurai” merupakan semboyan dari Provinsi Lampung. Kalimat tersebut memiliki makna identitas asli leluhur masyarakat Lampung, yang berarti “Satu Bumi Dua Jiwa”.
Semboyan yang bermakna Satu Bumi Dua Jiwa tersebut mewakili masyarakat Lampung yang terbagi dalam dua suku. Yaitu Suku Lampung Pesisir dan Suku Lampung Pepadun.
Walaupun sama-sama menjadi masyarakat asli, namun kedua suku tersebut memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Baik dalam bahasa maupun tata cara dan adat istiadat lainnya. Hal ini pula yang melatarbelakangi lahirnya semboyan Sai Bumi Ruwa Jurai.
1. Suku Lampung Pesisir
Sesuai dengan namanya, Suku Pesisir tinggal di sepanjang pesisir provinsi ini. Diyakini, masyarakat Suku Pesisir ini menjadi cikal bakal dari suku Lampung di Indonesia. Terbukti dengan hadirnya Kerajaan Sekala Berak yang merupakan kerajaan tertua di Lampung dan bermukim di Lampung Barat.
Hingga saat ini, Kerajaan Sekala Berak masih berdiri dengan memiliki empat Kepaksian (sub-kerajaan) yang tersebar di seluruh Lampung. Ciri khas lain dari Suku Lampung Pesisir yakni dari bahasa yang mereka pakai.
Bahasa masyarakat suku Pesisir adalah Bahasa Lampung dengan dialek “A”. Pelafalan yang mereka gunakan lebih jelas, hampir setara dengan pelafalan Bahasa Indonesia pada umumnya.
Untuk adat istiadat, masyarakat Suku Lampung Pesisir cenderung lebih selektif. Tercermin dalam sistem kerajaan dan pemberian gelar adat pada masyarakat. Hanya masyarakat yang memiliki garis keturunan kerajaan atau bangsawan yang berhak untuk mendapatkan gelar adat dan menjadi Raja.
Selanjutnya ada ciri dari hiasan yang masyarakat suku pesisir gunakan yang juga berbeda dengan masyarakat suku Pepadun. Seperti pada mahkota perempuan (Siger) Lampung Pesisir yang memiliki tujuh lekuk. Dengan hiasan bunga pada bagian atas yang menandakan tujuh sungai yang ada di Lampung.
Baca juga: Lampung Mau Dijadikan Pusat Pariwisata Nasional, Ada Harbour City Lho..
Ada juga yang mengatakan bahwa Siger masyarakat Suku Lampung Pesisir terpengaruh oleh budaya masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat. Ada juga Siger yang memiliki tali yang menjuntai menutupi wajah. Penguna Siger ini yakni masyarakat suku Pesisir-Melinting di Lampung Timur. Pada acara-acara adat dan pernikahan pun warna baju yang mereka gunakan yaitu warna merah.
2. Suku Lampung Pepadun
Berbeda dengan masyarakat suku Pesisir, masyarakat suku Pepadun tinggal di daerah tengah atau daratan. Masyarakat suku ini terkonsentrasi di wilayah pedalaman dan dataran tinggi. Sistem kekerabatan masyarakat Suku Pepadun adalah sistem patrilineal.
Selanjutnya, dialek bahasa yang masyarakat Suku Lampung Pepadun gunakan adalah Bahasa Lampung dengan dialek “O”. Pelafalannya dengan irama atau intonasi yang mengayun dan menekan.
Tak jarang pengguna bahasa dialek “O” ini identik sebagai masyarakat yang kurang ramah karena cara berbicaranya. Tetapi ada beberapa daerah masyarakat Lampung Pepadun yang juga menggunakan bahasa dialek “A” dalam bahasa percakapan sehari-hari.
Ciri khas lainnya, yaitu adat istiadat dalam masyarakat Suku Pepadun tidak serumit masyarakat suku Pesisir. Masyarakat ini bisa mendapaatkan gelar adat meskipun hanya berasal dari kalangan biasa. Untuk mendapatkan gelar adat tersebut harus melaksanakan Upacara Adat Cakak Pepadun.
Hal tersebut pun sama berlakunya untuk masyarakat dari luar suku Pepadun yang akan menikah dengan masyarakat adat Lampung Pepadun. Sebelum melangsungkan pernikahan antar suku ini, terlebih dahulu ada pelaksanaan Upacara Begawi atau meminta gelar adat.
Hiasan yang masyarakat Suku Lampung Pepadun gunakan juga berbeda dengan Suku Pesisir. Siger yang perempuan Suku Pepadun berjumlah sembilan lekuk. Bermakna sembilan marga yang membentuk Abung Siwo Megou. Baju yang masyarakat ini pakai pada upacara adat atau pernikahan juga mayoritas berwarna putih.
Baca juga: Pantai Batu Lapis Lampung Miliki Batu Karang Berlapis yang Eksotis
Itulah makna semboyan Sai Bumi Ruwa Jurai yang mencermikan dua suku berbeda tapi tetap dalam satu wilayah, yakni Lampung. Sobat Turisian pun bisa mengenal hal ini sebagai salah satu keanekaragaman suku di Indonesia dan wawasan terkait kekayaan budaya Nusantara.*
Sumber & Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id