Mengenal Kesenian Rampak Bedug dari Pandeglang Banten

Rampak Bedug Pandeglang
Rampak Bedug Pandeglang, Banten. (Source: Disbudpar Banten)

TURISIAN.com – Banten memiliki kesenian tradisional yang beragam dan menarik untuk Sobat Turisian kenali dan saksikan. Seperti kesenian rampak bedug yang berkembang salah satunya di daerah Kabupaten Pandeglang.

Sejarah keberadaan bedug di Banten sendiri, perkiraan masuknya mulai dari abad 15 oleh pasukan Laksamana Cheng Ho dari China. Mereka memberikan tanda mata berupa bedug kepada sultan Banten saat ekspedisi ke Nusantara. Awalnya berfungsi sebagai alat genderang perang.

Kemudian masyarakat Pandeglang mulai mengadaptasi alat tabuh tersebut sebagai bagian dari wilayah Banten. Uniknya, bedug buatan Pandeglang memiliki ciri khas yang membedakan dengan bedug yang ada di daerah lain. Yaitu bahan bedugnya menggunakan batang pohon kelapa.

Semula bedug tersebut hanya dibiarkan tergeletak di tanah tidak bersusun seperti yang Sobat Turisian ketahui saat ini. Penyebaran identitas alat tabuh bedug ini berawal dari wilayah sekitar lereng Gunung Karang. Kemungkinan penyebabnya, karena banyak pohon kelapa di wilayah Pandeglang, terutama di sekitar lereng Gunung Karang.

Dahulu alat tabuh bedug berguna bagi masyarakat sebagai alat komunikasi, misalnya mengabarkan ada yang meninggal, bahaya, hajatan, dan lainnya. Hingga akhirnya berkembang dan banyak yang menggunakannya sebagai alat pemberitahuan waktu sholat lima waktu.

Perkembangan Rampak Bedug Pandeglang

Evolusi kesenian Rampak Bedug bermula dari budaya Nganjor, yaitu budaya saling mengunjungi dengan membawa bedug, dari satu kampung ke kampung lainnya sambil membawa bedug untuk saling adu tabuh. Kebiasaan ini kemudian berkembang hingga terciptalah berbagai komposisi lagu dalam rangka Nganjor ini.

Misalnya komposisi Nangtang, yakni komposisi tabuhan secara bertalu-talu dengan iringan teriakan. Maksudnya untuk meledek dan menantang kampung yang didatangi.

Baca juga: Healing ke Pulau Peucang Pandeglang yang Menenangkan

Dari kebiasaan Nganjor itu mulai tercetus kebiasan baru bahwa setiap kampung membuat saung bedug. Nantinya berfungsi sebagai tempat untuk ajang adu bedug atau rampak bedug.

Pertandingan adu bedug yang dilakukan kampong yang bertanding adalah dengan cara satu pihak mengeluarkan tabuhan bedug yang harus di ikuti oleh pihak lawan, dan saling bergantian. Apabila pihak lawan tidak bisa mengikuti maka dinyatakan kalah.

Rampak bedug ini semakin berkembang dengan berbagai variasi pertandingan. Seperti lomba kampung dengan bedug terbanyak atau kampung yang memiliki bedug terunik.

Modifikasi Rampak Bedug Pandeglang

Bersumber dari laman Disparbud Kabupaten Pandeglang, Banten, antara tahun 1960-1970 Haji Ilen, salah seorang pelaku Nganjor kemudian terpikir untuk memodifikasi adu bedug ini dengan alunan gerak dan tari. Sehingga lebih bisa menikmatinya sebagai bentuk kesenian.

Upaya tersebut juga untuk meredam adu atau rampak bedug antar kampung yang seringkali menimbulkan bentrok fisik dan permusuhan yang membahayakan. Seiring waktu, H. Ilen seorang putra asli Pandeglang ini membentuk perkumpulan bedug. Lalu memperkenalkan suatu bentuk baru dalam seni perkusi atau biasa terkenal dengan sebutan seni tatabeuhan dalam Bahasa Sunda.

Mereka akhirnya mulai memperkenalkan Kesenian baru ini ke Jawa Barat dalam berbagai misi kesenian. Hingga mendapat pengakuan dan terdaftar di Provinsi Jawa Barat sebagai suatu bentuk seni tari dengan nama Kesenian Rampak Bedug.

Baca juga: Kue Jojorong, Camilan Manis Khas Banten

Pada awalnya rampak bedug Pandeglang ini selalu menampilkan sekitar 20 orang penari. Namun seiring waktu, jumlah bedug dan jumlah penari pun menyesuaikan dengan tempat penampilan.*

 

Pos terkait