TURISIAN.com – Saat berkunjung ke Kota Bengkulu, Sobat Turisian jangan lewatkan berwisata religi dengen menyambangi Masjid Jamik Bengkulu. Sepintas memang tak tampak keistimewaannya, namun justru daya tariknya terletak dari sang arsitekturnya, yaitu Bapak Proklamator Indonesia, Soekarno.
Lokasinya sangat strategis, berada di Jl. Letjen Soeprapto, Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Kalau melihat dari udara, posisi lahan masjid berbentuk segitiga. Terletak tepat di simpang empat yang membelah Jl Letjen Soeprapto, Jl MT Haryono, dan Jl Jenderal Sudirman.
Dulunya Masjid Jamik Bengkulu masih berupa surau atau musala bernama Surau Lamo yang menurut Bahasa Bengkulu berarti Surau Tua. Pendiriannya oleh saudagar keturunan Bugis, Sulawesi Selatan bernama Daeng Makulle pada awal abad 18.
Makulle sendiri merupakan seorang datuk dagang dari daerah Tengah Padang. Oleh karena itu, surau tersebut terkenal juga sebagai Surau Gadang atau Masjid Jamik Tengah Padang. Lokasinya tak jauh dari makam pahlawan nasional Sentot Alibasya alias Pangeran Diponegoro, yang terletak di Kelurahan Bajak, Bengkulu.
Bangunan awalya pun masih sangat sederhana, beratapkan rumbia, dengan tiang-tiang dan lantainya terbuat dari kayu. Saat memasuki abad 19, bangunan masjid berpindah ke lokasi sekarang dan lebih berkembang. Masjid berada di pusat perdagangan serta berfungsi untuk mempertemukan banyak kalangan ketika salat lima waktu.
Kemudian memasuki awal abad 20, para kaum tuo, begitu sapaan kalangan cerdik pandai dan ulama di tanah Sumatra, bersama masyarakat setempat bersepakat merenovasi masjid. Karena kondisinya mulai memerlukan perbaikan.
Peran Soekarno
Pada saat bersamaan, tokoh nasional Soekarno masuk ke Bengkulu pada 14 Februari 1938, setelah menjalani pengasingan selama empat tahun di Ende, Nusa Tenggara Timur. Oleh penjajah Belanda, Bung Karno menempati sebuah rumah sewaan milik pengusaha Tionghoa bernama Tjang Tjen Kwat. Alamatnya di Jalan Jeruk, sekarang adalah Jl Soekarno-Hatta, Kota Bengkulu.
Baca juga: Yuk Liburan Dulu ke Pantai Panjang Bengkulu!
Bung Karno kerap mampir ke Masjid Jamik Tengah Padang Bengkulu tersebut untuk melaksanakan salat. Kebetulan, letaknya sekitar 1,5 km dari rumah pengasingannya dan dapat ia tempuh dengan jalan kaki atau bersepeda onthel. Ia melihat bahwa masjid harus ada pembangunan ulang karena strukturnya sudah membahayakan jemaah saat salat.
Soekarno pun tak asal bicara, sebab dia memang berlatar pendidikan insinyur teknik sipil dari Technische Hoogeschool (THS) atau kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Seperti dalam tulisan Zein Abdul Baqir dalam “Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia”, Bung Karno kemudian bermusyawarah bersama kaum tuo yang ia sebut sebagai bigotedly orthodox agar bersedia memperbarui masjid mereka.
Gayung bersambut karena kaum tuo pun memikirkan hal serupa dan mereka mencapai mufakat bahwa Bung Karno sendiri yang akan mendesain rupa baru Masjid Jamik Bekulu itu. Presiden RI Pertama ini pun tak ingin menerapkan desain bangunan bergaya Timur Tengah atau Eropa. Sukarno punya gayanya sendiri.
Desain Arsitektur Antikolonial
Yuke Ardhiati dalam buku “Bung Karno Sang Arsitek” menyebutkan bahwa Bung Karno memiliki konsistensi padu padan gaya antikolonial dan mengedepankan konsep Indonesia. Itu memengaruhi model arsitektur karyanya pada periode 1926-1945.
Ketika itu, Bung Karno tak banyak mengubah struktur bangunan. Namun lebih menegaskan paduan nuansa Jawa dan Sumatra pada desain Masjid Jamik Bengkulu itu. Bung Karno mempertahankan sebagian struktur bangunan dan hanya mengubah bagian atap, tiang masjid, dan menaikkan tinggi lantai hingga 30 cm, serta dinding naik lagi 2 meter.
Bagian atapnya ganti berbahan seng dengan bentuk bermodel mansard atau atap tinggi bersisi empat miring curam dengan sedikit tekukan pada bagian bawah. Atapnya bersusun atau bertumpuk tiga melambangkan iman, Islam, dan ihsan.
Baca juga: Liburan Seru di Wahana Surya, Waterpark Terbesar di Bengkulu
Ada filosofi khusus mengapa bagian atap dan plafon jadi tinggi seolah-seolah ingin mencakar langit karena melambangkan ketaatan kepada Tuhan. Ada ornamen tambahan, yaitu hiasan kemuncak atau menyerupai gada pada puncak atap. Konon, Sukarno terinspirasi oleh senjata gada milik tokoh pewayangan favoritnya, yakni Bima.
Struktur Bangunan Masjid
Masjid Jamik Bengkulu mempunyai tiga bangunan yang saling menyatu, yakni inti masjid, serambi, dan bangunan tempat wudhu. Pada inti masjid yang menjadi ruang utama salat berukuran 14,65 m x 14,65 m. Terdapat tiga pintu masuk dengan pembatas tiga pilar setinggi sekitar 2,5 meter.
Menariknya, Bung Karno tidak menempatkan tiang-tiang penopang pada bagian tengah interior masjid sehingga menghadirkan kesan lebih lapang dan lega. Justru menyematkan tiang-tiang pada setiap sisi bangunan masjid dengan jarak teratur. Pada bagian kepala pilar-pilar ini terdapat ukiran motif sulur dari kayu jati.
Total ada 19 tiang dengan ukiran kayu di atasnya, termasuk pada tiga tiang pembatas pintu masuk Masjid Jamik Bengkulu. Kembali ke bangunan inti, suasananya terasa teduh karena dindingnya tinggi, sekitar 7 meter hingga mencapai plafon yang terbuat dari kayu jati cokelat.
Lalu ada lubang angin bersusun dua di tiga sisi bangunan, tepat sekitar 20 cm di bawah plafon. Sekitar 1 meter di bawah lubang angin, ada motif ayat-ayat Alquran berkelir emas mengelilingi keempat sisi dalam bangunan. Bagian utama masjid ini mampu menampung sekitar 400 jemaah.
Lanjut ke bagian depan ruang utama salat Masjid Jamik Bengkulu, Sobat Turisian bakal melihat sebuah mihrab berbahan beton berukuran 2,5 m x 1,6 m. Dengan mimbar khutbah bergaya Istanbul Ottoman lengkap dengan empat anak tangga. Tepat di atas mihrab ada dua kubah mini terbuat dari bahan stainless steel. Pada bagian serambi, bentuknya seperti persegi panjang dengan plafon berlapis kayu jati cokelat.
Serambi tersebut ada penopang tiang kayu besar persegi delapan. Sementara tempat wudu berukuran 8,8 m x 5,55 m. Tepat di belakangnya tampak halaman luas masjid yang biasa untuk parkir kendaraan atau sebagai area salat Id.
Berkat nilai sejarahnya tersebut, pemerintah pusat sejak 2004 telah menetapkan Masjid Jamik Bengkulu sebagai cagar budaya nasional. Hal ini semakin kuat dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Masjid ini juga berfungsi sebagai objek wisata religi dan sejarah yang selalu ramai masyarakat lokal dan luar Bengkulu berkunjung.*
Sumber: indonesia.go.id