TURISIAN.com – Topo bisu menjadi salah satu tradisi yang masih dipertahankan dan lestari di kalangan masyarakat Yogyakarta.
Sebagian masyarakat Yogyakarta melaksanakan tradisi ini setiap satu tahun sekali.
Sesuai dengan namanya, warga Yogyakarta yang melaksanakan tradisi topo bisu tidak diperkenankan untuk berbicara alias diam seribu bahasa.
Dikutip TURISIAN.com- dari pariwisata.jogjakota.go.id pada Selasa, 29 Maret 2022, Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dilakukan dengan cara mengelilingi area yang berada di sekitaran Keraton Yogyakarta.
BACA JUGA: Wisata Malam Yogyakarta, Ada Tugu Jogja yang Ikonik dan Instagenik
Dan ketika mengelilingi mengelilingi area tersebut, peserta tidak diperbolehkan untuk berbicara barang sepatah katapun.
Tradisi topo bisu biasa diikuti oleh ratusan orang sekaligus, dan tradisi tersebut sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Ritual pernuh makna ini bagi masyarakat Yogyakarta ini dilaksanakan untuk menyambut malam satu suro.
Warga Yogyakarta yang melaksanakan topo bisu juga menganggap bahwa tradisi ini sebagai bentuk introspeksi serta pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberikan perlindungan dan juga keselamatan.
Ketika waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB, warga Yogyakarta biasanya mulai berkumpul dan berdatangan ke Bangsal Pancaniti.
Kemudian, seluruhnya berkumpul dan duduk bersila untuk mengikuti rangkaian ritual. Acara ini selalu diawali dengan lantunan tembang macapat oleh para abdi dalem.
BACA JUGA: Serunya Main Sandboarding dan ATV di Gumuk Pasir Parangkusumo Yogyakarta
Tembang macapat sendiri adalah salah satu karya sastra Jawa yang berbentuk seperti puisi tradisional khas Jawa.
Dalam setiap tembang macapat yang dilantunkan selalu terselip harapan serta doa-doa yang ingin dipanjatkan.
Kemudian, sebagai bentuk dari introspeksi diri dan perenungan, seluruh peserta tirakat yang mengelilingi benteng dilarang untuk berbicara, merokok maupun minum.
Topo Bisu Dimulai Tepat Pukul 00.00 WIB
Dengan kata lain, hanya akan ada keheningan total yang tercipta selama melakukan tradisi topo bisu.
Biasanya proses ini dimulai ketika waktu menunjukkan tepat pukul 00.00 WIB tengah malam.
Perjalanan dalam keheningan total ini adalah sebagai simbol dari evaluasi sekaligus keprihatinan terhadap segala macam perbuatan selama kurun waktu satu tahun terakhir.
Jarak yang ditempuh dalam tradisi topo bisu untuk mengelilingi benteng kurang lebih mencapai 4 km.
BACA JUGA: Rekomendasi 5 Kuliner Pedas di Yogyakarta, Wajib Kalian Coba
Titik awal rute dimulai dari Bangasl Pancaniti, kemudian berlanjut ke Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim.
Lalu terus ke Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, melewati Pojok Benteng Kulon, Jalan MT Haryono dan Pojok Benteng Wetan.
Perjalanan kemudian masih berlanjut ke Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo dan pada akhirnya selesai ketika peserta tiba di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Ternyata saat ini, tidak hanya warga Yogyakarta saja yang antusias mengikuti tradisi Topo Bisu.
Terlihat tidak sedikit juga turis lokal maupun wisatawan mancanegara yang nampak antusias untuk mengikuti jalannya ritual tersebut.
BACA JUGA: Museum Gunungapi Merapi, Tempat Wisata Edukasi Menarik di Yogyakarta
Kalangan Kaum Milenial
Meskipun sebuah ritual atau tradisi biasanya cenderung identik dengan orang tua sebagai pesertanya, kini banyak juga peserta topo bisu mubeng benteng yang berasal dari kalangan kaum milenial muda.
Kebanyakan dari kaum muda tersebut penasaran dan ingin menjajal langsung ritual topo bisu ini.
Banyak sekali peserta yang mengharapkan keberkahan, kesehatan hingga kesejahteraan di dalam hidup mereka.
Tradisi mubeng benteng sebenarnya sudah ada sejak jaman Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Mubeng benteng sendiri memang bukan hajatan yang dikhususkan untuk Keraton, namun dahulu kala, tradisi ini dilaksanakan sebagai simbol bakti dari para abdi dalem serta masyarakat kepada Kesultanan Ngayogyakarta.
BACA JUGA: 4 Tempat Wisata Belanja Suvenir di Yogyakarta, Wajib Mampir Buat Beli Oleh-Oleh
Bentuk pengabdian itu sendiri dengan cara melakukan ronda mubeng benteng atau ronda dengan memutari kawasan benteng guna mengamankan keraton.
Saat ini juga sama, namun menjadi hajatan masyarakat luas yang kemudian difasilitasi oleh Keraton Yogyakarta.
Semakin banyak antusiasme warga dalam mengikuti tradisi topo bisu, semakin besar pula harapan warga Yogyakarta agar tradisi ini tetap lestari dan tidak hilang dimakan zaman.
Dan karena acara ini juga terbuka untuk umum, maka arti luasnya tradisi topo bisu bisa diartikan sebagai doa serta harapan untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
***