Tari Bedhaya Anglir Mendung, Tari Sakral Keraton Mangkunegoro

Ilustrasi. Penari dengan latar belakang Candi Prambanan. (iStock)

DALAM  pelaksanaan Jumenengan yang telah berlangsung hari ini, telah disajikan satu tari sakral. Yakni ‘Bedhaya Anglir Mendung’ dengan 7 penari perempuan remaja dari Pengageng Kemantren Langen Praja Pura Mangkunegaran yang masih remaja.

Penanggungjawab Kesenian Pengageng Kemantren Langen Praja Pura Mangkunegaran, Samsuri mengatakan penari-penari tersebut adalah penari baru dan sudah disiapkan sejak bulan Februari.

Sebanyak 2 pangkon Gamelan Ageng yakni Kiai Kenyut Mesem dan Kiai Udan Arum ditambah dengan 1 pangkon Gamelan Monggang berlaras Slendro-Pelog juga akan ditabuh.

Ini untuk mengiringi pementasan tersebut dengan pesinden dan seluruh penabuhnya adalah perempuan.

Tari Bedhaya adalah tari putri yang hidup dan berkembang di lingkungan istana. Hal ini didasarkan bahwa tari Bedhaya dilegitimasi sebagai pusaka kerajaan yang harus dijaga.

Kehidupan Wanita Jawa

Tari Bedhaya Suryasumirat mengisahkan tentang simbol-simbol yang berkaitan dengan konteks kehidupan wanita Jawa.

Sedangkan tarian Bedhaya Anglir Mendhung mengkisahkan tentang pertempuran Raden Mas Said dengan Kompeni pada tahun 1752 di Ponorogo, sekaligus sebagai ekspresi semangat para prajurit perempuan melawan Kompeni.

Hal ini dimaksudkan untuk menghormati laskar perempuan, yakni prajurit Ladrang Mangungkung dan Jayeng Rasta

Bedhaya Anglir Mendung merupakan salah satu bentuk tari istana yang berasal dari Istana Mangkunegaran Surakarta.

Ciptaan pangeran Sambernyawa ( K. G. P. A. A Mangkunegaran I ) dibantu 2 abdi dalem yang bernama Kyai Secakarma dan Rongga Kidung Wulung.

Tari Bedhaya ini merupakan tari upacara untuk acara-acara khusus dan sangat penting, yakni dalam upacara jumeneng dalem (penobatan raja), jumenengan (peringatan penobatan raja), tumbuk yuswa (ulang tahun raja), pawiwahan ageng (pernikahan putra atau putri raja), serta ketika menyambut tamu-tamu agung yang sangat dihormati.

Atau dapat dikatakan diperuntukkan bagi penonton-penonton terpilih. baik pada upacara penobatan maupun peringatan hari penobatan.

Keseluruhan tari Bedhaya Anglir Mendung ini terdiri dari tari awal, tari pokok, dan tari akhir. Pada tari pokok diiringi gending Kemanak dan Ketawang Mijil.

Nilai Kepahlawanan Pangeran Sambernyawa

Beberapa tokoh pahlawan nasional memiliki semboyan yang mampu menyemangati dan menggetarkan jiwa pasukan atau rakyat yang dipimpinnya.

Seorang pahlawan nasional bernama Raden Mas Said atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa juga menyemangati pasukannya dengan semboyan Tiji Tibeh.

Tiji Tibeh merupakan akronim dari mati siji mati kabeh-mukti siji mukti kabeh, artinya mati satu mati semua, makmur satu makmur semua.

Siapakah Raden Mas Said? Beliau adalah putera Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan. RM Said dilahirkan di Kartasura pada tanggal 7 April 1725.

Memasuki usia dua tahun, Raden Mas Said kehilangan ayahnya yang dibuang Belanda ke Srilanka. Setelah dewasa, RM Said diangkat sebagai abdi dalem dengan pangkat Mantri Gandek.

Namun, lingkungan politik di dalam keraton tidak membuat beliau nyaman, Paku Buwana II semakin terpengaruh oleh kompeni, Keraton Kartasura lumpuh oleh Geger Pecinan tahun 1740. RM Said kemudian meninggalkan keraton, hidup bersama rakyat.

Raden Mas Said lalu menetap di Nglaroh, Wonogiri. Beliau membentuk pasukan yang terdiri dari pengikut setianya.

Menariknya, para pengikut RM Said diberi nama semuanya berawalan Jaya, antara lain Jayawiguna, Jayautama, Jayaprabata dan sebagainya dengan harapan dalam peperangan akan selalu mendapatkan kemenangan atau kejayaan.

Selama berada di Nglaroh, RM Said menggembleng pasukannya dan rakyat Nglaroh dengan latihan perang menaiki gunung, menuruni lembah dan jurang.

Perjuangan Raden Mas Said dilakukan selama 16 tahun (1749-1757). Tahun 1741-1742, RM Said memimpin pasukan Tionghoa melawan Belanda. Kemudian tahun 1743-1752 bergabung dengan Pangeran Mangkubumi melawan Mataram dan Belanda.

Perjanjian Giyanti

Melalui Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian itu sangat ditentang oleh RM Said karena telah memecah belah rakyat Mataram.

Selanjutnya, tahun 1752-1757 RM Said bersama pasukannya berjuang melawan Pakubuwana III (Surakarta) dan Hamengkubuwana I (Yogyakarta) serta pasukan kompeni.

Kehebatan strategi perang Raden Mas Said bukan hanya dipuji pengikutnya tetapi juga disegani lawan. Pujian datang dari Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff.

Selain itu, pemimpin VOC di Semarang, Nicolaas Hartingh juga memuji strategi perang RM Said. Ia menjuluki RM Said sebagai Pangeran Sambernyawa.

Itu karena di mata musuh-musuhnya, RM Said adalah penyebar kematian. Sambernyawa sendiri adalah nama pedang pusaka Mangkunegaran yang sakti dan tajam.

Pada saat itu tidak ada yang berhasil menyentuh bahkan menangkap Raden Mas Said. Melihat kenyataan itu, Nicholas Hartingh mendesak Sunan Pakubuwana III untuk meminta RM Said ke meja perundingan.

Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III yang dikenal dengan Perjanjian Salatiga tanggal 17 Maret 1757.

Strategi Gerilya

Jauh sebelum perang gerilya dijalankan TNI melawan penjajajah, Pangeran Sambernyawa telah menjalankan strategi perang gerilya. Ilmu perang Pangeran Sambernyawa itu adalah dhedemitan, weweludhan, dan jejemblungan.

Dhedhemitan berasal dari akar kata dhemit yakni mahluk halus yang susah diraba, weweludan berasal dari akar kata welud artinya belut yang sangat licin untuk ditangkap sedangkan jejemblungan berasal dari kata jemblung artinya orang gila tidak punya rasa takut.

Jadi, tidak menampakkan diri saat musuh terlihat kuat, menyerang ketika musuh lengah dan cepat dalam menyembunyikan diri. Strategi perang ini terbukti ampuh membuat pasukan VOC kocar-kacir.

Berkat strategi itu, Pangeran Sambernyawa selalu lolos dari kepungan pasukan VOC. Selain strategi perang yang brilian, Pangeran Sambernyawa juga menggunakan semboyan Tiji Tibeh untuk menyatukan dan membakar semangat pasukannya yang bergerilya dalam melawan dan mengusir kompeni.

Intinya, Tiji Tibeh dapat dimaknai sebagai konsep kebersamaan antara seorang pemimpin dengan rakyat yang dipimpin maupun sesama rakyat. Sebuah konsep yang patut ditiru oleh pemimpin saat ini.

Ilmu perang yang diterapkan Pangeran Sambernyawa dilanjutkan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman sewaktu beliau bergerilya saat melawan penjajah, hingga akhirnya Indonesia memperoleh kemerdekaan.

Djati Nugroho/ Sumber  ‘Pustaka fakultas ilmu budaya UGM’

Pos terkait