TURISIAN.com – Bentuk gigi yang rata sempurna pada umumnya merupakan dambaan dari hampir semua orang. Itu pula sebabnya, tradisi kikir gigi hingga hari ini masih berlangsung.
Namun, tidak demikian dengan sejumlah suku di Indonesia. Suku Mentawai contohnya yang menganggap bahwa bentuk gigi runcing adalah sesuatu yang lebih berharga.
Selain Suku Mentawai, tradisi meruncingkan atau mengikir gigi juga bisa sobat Turisian jumpai di beberapa daerah lainnya di Indonesia.
Berikut adalah beberapa daerah yang masih mempertahankan tradisi kikir gigi sampai dengan saat ini.
1. Tradisi Bedabung – Bengkulu
Pertama, mari kita bertolak dari Pulau Sumatera, salah satu pulau paling Barat di wilayah Indonesia.
Bedabung adalah salah satu tradisi yang dilakukan seorang pengantin wanita dalam rangkaian upacara pernikahan adat Bengkulu.
Dalam prosesi pernikahan, sang mempelai wanita duduk di pelataran yang dihias mewah, berdandan cantik dengan mengenakan baju adat pengantin Bengkulu berwarna merah dan memakai hiasan sanggul kepala bernama sikek.
Kemudian, ketika prosesi bedabung akan dilakukan, calon mempelai wanita akan berbaring di atas pelataran tersebut untuk dikikir giginya.
BACA JUGA: Maybank Marathon Kembali Digelar di Bali, Simak Detailnya
Area gigi depan dari sang mempelai wanita kemudian dikikir sedikit sambil diiringi oleh musik adat setempat berupa gendang serunai.
Setelah prosesi kikir gigi tersebut rampung, selanjutnya calon pengantin akan disuguhi ragam hidangan rujak dengan bumbu khas setempat dan tidak lupa didampingi dengan nasi kunyit.
Proses selanjutnya adalah menerima belanjo atau hantaran, akad nikah, hadang galah, mufakat rajo penghulu, belarak, mandi-mandian dan terakhir adalah upacara bedandang yang dilakukan pada malam hari, semacam acara kesenian asli Bengkulu.
Sebagai Syarat Wanita Sebelum Menikah
2. Runcing Gigi – Mentawai
Bagi suku mentawai asli, bentuk gigi yang runcing adalah simbol bahwa wanita tersebut adalah wanita yang cantik dan telah dewasa.
Semakin runcing bentuk gigi yang dimiliki, maka akan semakin menawan wanita tersebut di mata suku Mentawai.
Namun saat ini, tradisi meruncingkan gigi sudah bukan menjadi sebuah kewajiban bagi wanita suku Mentawai.
Karena yang masih melakukan tradisi ini hanyalah istri dari orang yang dihormati di kalangan masyarakat asli Mentawai.
BACA JUGA: Ayoo Gaess, Kita Kunjungi 5 Benteng Paling Bersejarah di Indonesia Ini
Namun dulu, ketika ada seorang wanita dari suku Mentawai yang akan menikah, maka ia harus terlebih dahulu untuk meruncingkan giginya.
Wanita suku Mentawai pada masa itu memiliki kepercayaan bahwa dengan meruncingkan gigi, maka tubuh dan jiwa mereka dapat tetap terjaga keseimbangannya.
Arwah dan tubuh merupakan dua wujud kepercayaan dari suku Mentawai, jika tidak menyukai penampilan fisik, maka mereka percaya akan datang penyakit.
Maka dari itulah wanita dewasa di suku Mentawai meruncingkan gigi untuk terlihat cantik, bahagia dan panjang umur.
Apakah prosesnya sakit? Silahkan dibayangkan sendiri, sebab proses tersebut dilakukan oleh ketua adat setempat tanpa dibantu dengan obat bius seperti layaknya ketika sobat Turisian berobat.
Namun, untuk menahan rasa sakit tersebut, suku Mentawai biasanya menggigit pisang mentah dengan tekstur yang masih keras.
Proses meruncingkan satu gigi biasanya memakan waktu 30 menit tanpa istirahat, bayangkan berapa lama yang diperlukan untuk meruncingkan 23 buah gigi, cukup lama bukan?
BACA JUGA: Memilih Wisata Terbaik di Bali Berdasarkan Zodiak yang Kamu Miliki
Menghilangkan Segala Jenis Keburukan
3. Metatah – Bali
Tradisi ini juga biasa disebut dengan mepandes atau mesanggih oleh kaum Hindu di Bali.
Tujuan dari tradisi metatah adalah untuk menghilangkan segala jenis keburukan pada diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca, raksasa.
Wujud tersebut memiliki artian jiwa dan raga yang diliputi oleh watak Sad Ripu yang dapat menemukan hakekat manusia sejati.
Sad Ripu dalam kepercayaan umat Hindu di Bali adalah enam jenis musuh yang kerap timbul dari perbuatan kurang baik dalam diri setiap manusia.
Tradisi metatah pada umumnya bisa dilaksanakan oleh kaum pria maupun wanita yang telah beranjak dewasa.
Namun, prosesi metatah ini juga tergantung pada kondisi perekonomian yang bersangkutan, sebab tradisi ini bisa memakan biaya yang tidak sedikit.
Banyaknya persiapan yang diperlukan seperti perlengkapan sesajen hingga mengundang sanak saudara. ***