TURISIAN.com – Kerta Gosa merupakan objek wisata budaya di Kabupaten Klungkung, Bali. Kompleks bangunan ini berfungsi sebagai balai pengadilan warisan Keraton Semarapura (1686-1908). Kemudian tetap dengan fungsi yang sama pada masa kekuasaan kolonial Belanda (1908-1942).
Di kompleks tersebut setidaknya Sobat Turisian masih bisa menemukan tiga objek peninggalan Keraton Semarapura. Yaitu Bale Kerta Gosa, Bale Kambang dengan Kolam Taman Gili, serta Gapura Keraton. Selain itu, di bagian barat terdapat bangunan Museum Semarapura bergaya arsitektur Eropa (Balisering) yang sebelumnya merupakan sekolah Belanda.
Keberadaan bangunan Kerta Gosa sudah ada sejak tahun 1700 Masehi. Hal ini terbukti berdasarkan angka tahun Çandra Çangkala yang terdapat di atas pintu masuk kompleks tersebut. Çandra Çangkala itu berupa Cakra, Yuyu, dan Paksi-paksi yang bernilai 1661 Saka atau sekitar 1700 Masehi. Angka tahun ini bersamaan dengan pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe. Konon nama tempat ini hasil pemberian raja tersebut.
Nama Kerta Gosa berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata. Yaitu Kerta (Kertha) dan Gosa. Kertha atau Kerta berarti baik, luhur, aman, tentram, bahagia, dan sejahtera, sedangkan Gosa (berasal dari kata Gosita) berarti dipanggil, diumumkan, dan disiarkan. Jadi berarti tempat untuk mengumumkan hal-hal yang baik atau perihal untuk mencapai ketentraman dan kesejahteraan.
Di samping itu juga dapat bermakna sebagai tempat raja untuk mengadakan musyawarah yang berkenaan dengan ketentraman dan kesejahteraan bagi kerajaan. Meliputi bidang keamanan dan peradilan.
Makna bangunan ini tidak terlepas kaitannya dengan istana kerajaan. Mencakup unsur-unsur tempat rekreasi, kegembiraan, kemewahan, dan sebagai unsur seni yang monumental dari suatu kerajaan.
Baca juga: Mengenal Pura Agung Besakih, Pusat Kegiatan Seluruh Pura di Bali
Sebagai bangunan yang berfungsi untuk sidang pengadilan sejak zaman kerajaan hingga masa kolonial Kerta Gosa memberikan gambaran tentang proses peradilan di masa lalu. Keterangan yang ada menyatakan bahwa tata cara peradilan maupun pejabat yang hadir dalam persidangan Masa Kolonial masih tetap berlanjut dengan tata cara peradilan adat masa sebelumnya.
Oleh karena itu, bangunan ini sebagai tempat berlangsungnya peradilan terbuka mencerminkan adanya kearifan lokal. Tepatnya di bidang nilai keadilan dan keterbukaan dalam sistem hukum.
Struktur Bangunan Kerta Gosa
Bangunan cagar budaya tersebut terdiri atas bagian dasar dan atap. Pada bagian dasar berbentuk segi empat panjang dengan susunan dua lantai. Lantai pertama lebih lebar dan lantai kedua lebih kecil. Atap bangunan terbuat dari ijuk, sedangkan dasar bangunan terbuat dari batu padas dan batu bata yang lengkap dengan undak (tangga naik).
Selanjutnya di bagian atap ada tambahan berupa hiasan patung dan relief yang mengelilingi bangunan. Pada langit-langit (plafon) ada hiasan dengan lukisan tradisional bermotif wayang gaya Kamasan.
Untuk lukisan yang ada di langit-langit bangunan Taman Gili mengisahkan cerita Sutasoma, Pan Brayut, dan Palalintangan. Sementara lukisan pada langit-langit bangunan Kerta Gosa mengambil cerita Ni Dyah Tantri, Biwa Swarga, Adi Parwa, dan Pelelindon.
Tema pokok dari cerita-cerita tersebut adalah Adiparwa khususnya pada episode Swarga Rohana Parwa. Yakni menceritakan kisah perjalanan Pandawa menuju alam sorga.
Baca juga: Desa Wisata Blimbingsari, Wisata Rohani dengan Akulturasi Budaya Bali
Lukisan wayang Kamasan yang tergambar pada bangunan Kerta Gosa dan Taman Gili bakal menarik perhatian Sobat Turisian saat berkunjung. Karena selain menunjukkan adanya kearifan di bidang estetika yaitu seni lukis tradisional gaya Wayang Kamasan mengandung pula ajaran moral atau etika.*
Sumber & Foto: kebudayaan.kemdikbud