Museum Gedong Kirtya Buleleng, Miliki Koleksi Lontar Seni Sastra Bali

Museum Gedong Kirtya
Museum Gedong Kirtya, Buleleng, Bali. (Source: kemdikbud.go.id)

TURISIAN.com – Wisata Bali tak melulu soal pantai, ada juga destinasi wisata edukasi yang menarik Sobat Turisian datangi saat berlibur di Pulau Dewata ini. Salah satunya Museum Gedong Kirtya yang mengoleksi berbagai karya seni sastra (lontar) di seluruh wilayah Bali.

Keberadaan museum di Singaraja, Buleleng ini merupakan inisiasi dari orang Belanda bernama L.J.J Caron. Ia datang ke Bali bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra (lontar) yang ada di seluruh Bali.

Menurut Caron, kekayaan seni ini sepatutnya dipelihara agar tidak rusak atau hilang. Sehingga memberikan kesempatan bagi generasi selanjutnya untuk mengetahui isi dari kesenian sastra (lontar) tersebut.

Museum Gedong Kirtya berawal dari sebuah yayasan yang diberi nama “Kirtya Lefrink – Van der Tuuk” yang bertugas untuk menjaga kesenian sastra tersebut. F.A Lefrink selaku Asistan Resident pemerintah Belanda di Bali pada waktu itu sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan banyak tulisannya mengenai Bali dan Lombok. Sedangkan Dr. H.N Van der Tuuk adalah seorang sejarahwan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum ini.

Gedung ini berada di Kompleks Sasana Budaya, yang merupakan istana tua Kerajaan Buleleng. Alamatnya di Jalan Veteran, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. Pada masa itu, Singaraja merupakan ibu kota Sunda Kecil.

Sejarah Pendirian Museum Gedong Kirtya

Pertemuan sangat bersejarah antara Caron dan raja serta tokoh agama itu berlangsung di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggal 2 Juni 1928. Mereka bertemu untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali.

Rapat itu sepakat untuk mendirikan lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk. Menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk. Sebagai tindak lanjutnya, tak lama berselang tepat pada 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali.

Baca juga: Menanti Pesona Keindahan Mentari Terbit di Danau Tamblingan Buleleng

Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk, berfungsi mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink berasal dari seorang asistan residen pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.

Sementara kata “kirtya” berasal dari usulan I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng kala itu. Kirtya berakar kata “kr“, menjadi “krtya“, sebuah kata dari Bahasa Sansekerta yang bermakna “usaha” atau “jerih payah”.

Dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini, ratusan tesis magister dan desertasi doctoral telah lahir. Ribuan karya ilmiah mengalir dan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek Kamus Jawa Kuna. Pengerjaannya selama puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder, salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuna yang akrab dipanggil Romo Zoet.

Setelah Romo Zoet berpulang, misi Kamus Jawa Kuna ini diteruskan Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuna-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuna-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.

Tujuan Pendirian Museum Gedong Kirtya

Tujuan yayasan tersebut, yakni melacak semua naskah dengan tulisan dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, serta berbahasa Bali dan Sasak. Sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok dan kebanyakan milik perorangan. Tujuan dari upaya ini untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut lebih mudah akses bagi para peminat.

Agar tujuan itu dapat terlaksana, maka raja-raja setempat, para pendeta, dan sejumlah pihak di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Pada kegiatan ini ada sebuah panitia kecil terdiri atas 12 orang yang memutuskan. Naskah-naskah mana saja yang cukup berharga untuk menjadi koleksi Museum Gedong Kirtya.

Kemudian, mereka menyalin isi lontar-lontar itu dengan sedetail mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya. Salinannya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar). Lalu lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya.

Seiring perkembangan zaman, mantan Bupati Buleleng Dr. Ketut Wirata mengembangkan perpustakaan tersebut menjadi sebuah museum. Museum Gedong Kirtya sendiri bertujuan khusus untuk karya seni sastra yang ditulis pada daun kelapa (lontar) yang berasal dari seluruh Bali.

Baca juga: Pura Beji, Wisata Religi Populer di Bali dengan Ukiran Unik Khas Buleleng

Di Museum Gedong Kirtya ini pula, Sobat Turisian bisa melihat ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, serta manuskrip kertas. Dalam bahasa Bali dan huruf Romawi, termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial selama kurun waktu dari 1901 hingga 1953.*

 

 

 

Sumber: Dispar Buleleng

Pos terkait