TURISIAN.com – Kerukunan umat beragama di Pulau Lombok cukup kuat. Hal ini tampak pada tradisi budaya Perang Topat. Kata “Topat” dalam Bahasa Sasak berarti ketupat.
Tradisi Perang Topat hingga kini masih lestari di Lombok, terutama di Desa Lingsar. Bahkan tradisi tersebut telah menjadi warisan budaya bagi masyarakat Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Lingsar merupakan sebuah desa di Lombok yang terkenal memiliki toleransi tinggi dari masyarakatnya yang mayoritas beragama Islam, terhadap saudara mereka pemeluk Hindu Bali. Ini menjadi contoh nyata dari kebhinekaan yang menyatukan bangsa Indonesia.
Mendengar kata perang yang terbayang ada baku hantam, ada kawan dan lawan. Biasanya identik dengan kekerasan, kebencian, amarah, pertumpahan darah, dan bahkan berakhir dengan kematian. Namun ternyata, Perang Topat jauh dari kesan buruk tersebut.
Masyarakat Desa Lingsar, Lombok mengubah makna perang menjadi sebuah pesta yang menyenangkan. Di dalam tradisi perang Lombok ini, tak akan ada derita dan pengorbanan jiwa.
Sebaliknya, mereka malah bersuka ria, canda tawa, bersorak sorai di atraksi “perang” yang menjadi agenda tahunan tersebut. Senjata utamanya berupa ketupat sesuai namanya topat.
Uniknya, ketupat atau topat itu dibuat khusus untuk keperluan tradisi perang. Beratnya lebih ringan dan ukuran lebih kecil dari ketupat pada umumnya.
Tempat & Waktu untuk Perang Topat
Atraksi budaya khas Lombok ini, bertempat di Pura Lingsar, sebuah tempat peribadatan umat Hindu paling besar seantero Lombok. Bangunannya cukup membentang dari barat ke timur seluas 26 hektare. Dengan mengikuti posisi Gunung Agung dan Rinjani, dua puncak tertinggi di Bali serta Lombok.
Pura Lingsar mendapat pengaruh dari Kerajaan Hindu Karangasem Bali yang memperluas kekuasaannya ke Lombok. Pembangunan pura mulai pada tahun 1759 pada masa kekuasaan Raja Anak Agung Ngurah. Terdiri dari dua bangunan utama, yakni Pura Gaduh di sisi selatan dan Kemaliq di utara.
Pelaksanaan Perang Topat biasanya berlangsung saat perayaan Pujawali pada purnamaning sasih keenem (enam) kalender Bali. Atau setiap tanggal 15 purnama sasi kepitu (tujuh) dalam warige (penanggalan) suku Sasak.
Sementara pada kalender Masehi, tradisi budaya ini biasanya jatuh pada bulan Desember atau pertengahan November.*
Sumber: indonesia.go.id