TURISIAN.com – Kasus dugaan kekerasan yang menimpa para mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke permukaan.
Kali ini, bukan sekadar bisik-bisik gelap di balik tenda pertunjukan. Nama-nama besar pun ikut terseret, termasuk Taman Safari Indonesia (TSI), yang buru-buru mengeluarkan bantahan.
Manajemen TSI menegaskan tidak pernah terlibat dalam praktik penyiksaan terhadap pemain sirkus OCI.
Lewat pernyataan resmi pada Kamis, 17 April 2025, Finky Santika Nh, Kepala Media dan Digital TSI Group, menyatakan bahwa TSI tidak memiliki hubungan bisnis maupun hukum dengan pihak yang dimaksud.
“Kami badan usaha independen. Isu ini murni persoalan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan TSI secara kelembagaan,” ujar Finky.
Namun di tengah penyangkalan tersebut, komentar tajam datang dari pakar hukum Reza Indragiri.
Sebagai konsultan Lentera Anak Foundation, Reza menyitir “tragedi terjun bebas” dan “kisah bebas merdeka” dua mantan pemain sirkus cilik.
Ia membandingkan kasus ini dengan The Stolen Generation di Australia—kebijakan pemerintah kulit putih memisahkan anak-anak Aborigin dari keluarganya selama puluhan tahun.
“Pemerintah Australia mengakui itu kesalahan besar dan meminta maaf secara terbuka pada 2008. Pertanyaannya, akankah hal serupa dilakukan oleh TSI dan para pelaku bisnis OCI?” ujar Reza dalam kutipan yang dikutip dari Tribunnews.com.
Ia pesimistis jalur pidana bisa ditempuh. Pasalnya, undang-undang yang relevan seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU Perlindungan Anak baru muncul setelah Oriental Circus Indonesia berhenti beroperasi.
BACA JUGA: Sanksi Menanti, Taman Safari Indonesia Tegas Larang Pengunjung Nekat
Praktik Eksploitasi
Namun, menurutnya, pengecualian bisa terjadi jika ditemukan praktik eksploitasi yang masih berlangsung di sektor bisnis mereka saat ini.
“Jika jalur hukum tertutup, sanksi sosial berupa boikot bisa menjadi pilihan masyarakat. Bahkan kompensasi dari negara patut dipertimbangkan, karena negara dianggap abai sejak laporan pertama mencuat pada 1997,” ujarnya.
Laporan yang dimaksud memang bukan isapan jempol. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan telah memantau kasus ini sejak 1997.
Temuannya cukup mencengangkan: pelanggaran hak anak atas identitas, kebebasan dari eksploitasi ekonomi, pendidikan, dan jaminan sosial.
“Kami sudah menangani kasus ini sejak 1997, dan belum ada penyelesaian tuntas hingga kini,” kata Uli Parulian Sihombing, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM.
Komnas HAM pun mengeluarkan dua rekomendasi. Pertama, agar tuntutan kompensasi para mantan pemain sirkus diproses melalui jalur hukum.
Kisah Horor
Kedua, agar asal-usul para pemain sirkus dijernihkan demi hak identitas mereka.
Fifi adalah salah satu korban yang memilih bersuara. Di hadapan Wakil Menteri HAM, ia mengisahkan horor yang membayanginya sejak kecil.
Diseret, dikurung dalam kandang macan, disiksa, bahkan disetrum di bagian tubuh yang sensitif. Ia nyaris kehilangan segalanya, termasuk identitasnya sendiri.
“Saya diseret, dikurung, disetrum. Sampai akhirnya saya kabur ke hutan malam-malam,” katanya lirih.
Fifi tak tahu siapa orang tuanya. Ia hanya tahu bahwa sejak lahir, ia diasuh oleh keluarga sirkus. Belakangan terkuak, ibunya adalah Butet, seorang pemain sirkus lain. Butet mengaku terpaksa menyerahkan Fifi karena tak mampu mengasuhnya.
Kini, lebih dari dua dekade berlalu, luka itu belum juga sembuh. Nama-nama besar masih membungkus diri dalam narasi hukum dan etika bisnis.
Sementara di luar pagar sirkus yang telah lama redup, para korban masih menanti keadilan yang tak kunjung dipanggungkan.