TURISIAN.com – Terik matahari yang menyengat kawasan Glodok siang itu jadi saksi perayaan Cap Go Meh. Panasnya Jakarta tak menyurutkan langkah wanita ini dan rombongannya puluhan orang lainnya untuk larut dalam perayaan.
Mereka yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga itu datang bersama anak-anak untuk ingin menyaksikan kemeriahan Cap Go Meh. Atau festival penutup rangkaian perayaan Imlek pada Rabu, 12 Februari 2025.
“Saya ke sini sama cucu. Dia baru pertama kali lihat Cap Go Meh,” ujar wanita tadi, sambil tersenyum.
Dari rumahnya yang berjarak sepuluh menit berjalan kaki, ia dan si kecil melangkah menuju pusat perayaan. Diantara lautan manusia yang memadati kawasan pecinan.
Baginya, Cap Go Meh bukan sekadar tontonan. Ada pelajaran yang ingin ia sampaikan pada cucunya—tentang keberagaman dan pentingnya hidup berdampingan.
Dari barongsai yang meliuk-liuk lincah hingga deretan pedagang yang memenuhi jalanan.Semuanya menjadi bagian dari pengalaman belajar yang tak diajarkan di bangku sekolah.
Bukan hanya didirnya dan rombongannya dari Tambora yang datang untuk merayakan tradisi ini. Dari Pluit, Jakarta Utara, juga banyak yang datang dan rela menerobos kemacetan demi merasakan atmosfer Cap Go Meh.
BACA JUGA: Kawah Ijen Masih Jadi Wisata Primadona Saat Libur Panjang Isra Miraj dan Imlek 2025
Pengunjung terkesima
Sebagai keturunan Tionghoa, sebagian besar pengunjung mengaku terkesima saat melihat pertunjukan gambang kromong. Sebuah musik khas Betawi yang lahir dari percampuran budaya Tionghoa dan Nusantara.
Sementara itu, perayaan Cap Go Meh tahun ini dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan seni. Selain barongsai dan gambang kromong, ada pula tarian liong, tanjidor, ondel-ondel, enggrang. Hingga alunan angklung yang menambah warna di tengah gemerlap lampion yang menggantung di sepanjang jalan.
Festival ini diinisiasi oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) dan dihadiri sejumlah pejabat lokal serta tokoh masyarakat.
Sedangkan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi, yang membuka acara, menyebut Cap Go Meh sebagai cerminan harmoni dalam keberagaman.
“Jakarta adalah rumah bagi semua etnis, agama, dan budaya yang hidup berdampingan,” ujarnya.
Tak hanya di Glodok, euforia Cap Go Meh juga terasa di berbagai sudut Jakarta. Dari pusat perbelanjaan hingga sentra kuliner.
Di luar Ibu Kota, kemeriahan serupa menggema di Bogor, Singkawang, Palembang, hingga Yogyakarta.
Di bawah cahaya lampion yang berpendar, Cap Go Meh kembali membuktikan bahwa budaya bukan sekadar warisan, tapi juga jembatan yang menghubungkan keberagaman dalam satu harmoni. ***