TURISIAN.com – Pelancong Gen Z atau Generasi Z kini menjadi kekuatan pendorong di balik geliat pariwisata desa. Mereka merupakan komunitas yang sangat aktif dalam melakukan perjalanan wisata.
Sari Lenggogeni, pengamat pariwisata dari Universitas Andalas, mengamati adanya pergeseran preferensi pelancong muda ini.
Alih-alih keramaian kota, mereka kini lebih tertarik memburu pengalaman otentik di desa-desa wisata.
Survei sebuah platform pemesanan hotel mengamini tren ini.
Gen Z, kata Sari, mencari destinasi yang mengadopsi konsep berkelanjutan dan menawarkan pengalaman lokal yang mendalam.
Desa wisata, dengan segala keunikannya, memenuhi kriteria ini.
“Mereka ingin menjadi bagian dari budaya lokal,” ujar Sari, Rabu 5 Februari 2025.
Ketertarikan ini diwujudkan dalam pilihan akomodasi tradisional, penggunaan sepeda lokal, hingga keikutsertaan dalam keseharian masyarakat desa.
Desa wisata yang tertata, dengan perkumpulan komunal yang khas, juga menjadi daya tarik tersendiri.
“Komunal dapur, ruang tamu komunal, dan lain sebagainya, bisa diciptakan,” lanjut Sari.
Sementara itu, interaksi yang tinggi dan rasa kebersamaan menjadi kunci pengalaman yang dicari.
“Atraksi-atraksi inovatif, kebersihan, tata kelola, serta tata letak infrastruktur yang baik adalah krusial,” paparnya.
BACA JUGA: Generasi Z Semakin Cermat dalam Merencanakan Liburan
Prinsip-prinsip lokal
Namun, Sari mengingatkan, antusiasme ini jangan sampai menggerus prinsip-prinsip lokal.
Nilai-nilai, kepercayaan, dan aturan adat yang berlaku harus tetap dijunjung tinggi, baik oleh pengelola maupun wisatawan.
“Tata ruang seperti di Bali, dengan asas-asasnya, atau di Toba, dengan kearifan lokalnya, harus dijaga,” tegasnya.
“Pengawasan bottom-up dan top-down diperlukan untuk memastikan keberlanjutan nilai-nilai ini,” sambungnya.
Tren slow living juga menjadi daya tarik bagi pelancong Gen Z. Berbeda dengan fast tourism yang serba cepat, mereka memilih menikmati hidup dalam irama yang lebih lambat.
“Mereka bisa tinggal hingga tujuh hari atau lebih, menyatu dengan budaya dan keseharian warga,” jelas Sari.
Oleh karena itu, Sari berharap Kementerian Pariwisata lebih jeli melihat potensi desa wisata.
“Klaster desa wisata perlu diperhatikan. Tentukan prioritasnya, termasuk desa-desa yang sudah mendapat penghargaan internasional,” katanya.
Langkah ini diyakini dapat mendorong repeat visit dan menjaga pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.
“Kesiapan destinasi harus menjadi fokus utama,” tandas Sari.
Desa-desa peraih penghargaan, seperti ASEAN Awards, seharusnya menjadi perhatian khusus.
“Ini bisa dikurasi dan dijadikan benchmarking atau sarana edukasi bagi desa wisata lainnya.”
Dengan demikian, pariwisata desa tidak hanya menjadi tren sesaat. Namun juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan. ***