TURISIAN.com – DPR RI meminta pelaku industri pariwisata tidak perlu khawatir terhadap terbitnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
Khususnya, terhadap pasal yang mengatur ranah privat menyangkut perzinaan. Sebab, sempat berkembang di masyarakat bahwa pasal tersebut berpotensi mematikan bisnis mereka.
“Pihak pemilik atau pengelola hotel jangan takut bahwa lahirnya KUHP yang baru ini akan mematikan bisnis perhotelan, termasuk dunia pariwisata,” kata Anggota Komisi III DPR RI Santoso kepada awak media, Jumat 9 Desember 2022.
Ia menyebut pihak hotel pun tidak memiliki kewajiban meminta tamu yang menginap untuk harus menunjukkan surat nikah
Ataupun keterangan lain sebagai penunjuk bahwa tamu tersebut adalah suami istri.
BACA JUGA: Tok! KUHP Disahkan, Wisatawan Asing ‘Kabur’ dari Labuan Bajo
“Sistem yang berlaku di Indonesia sejak KUHP disahkan normal saja. Yang berbeda adalah siapa saja yang dapat melaporkan atas adanya peristiwa perzinaan. Dan itu bukan merupakan suatu hal yang menjadi phobia bagi publik dan turis asing yang akan berlibur di Indonesia,” tuturnya.
Santoso menilai anggapan yang beredar di publik terkait pasal perzinaan dalam KUHP baru merupakan ketakutan yang berlebihan karena mendapatkan informasi yang keliru.
“Pasti travel-travel asing yang mendatangkan turis ke Indonesia saat ini mendapatkan informasi yang tidak tepat atau salah tentang isi pasal soal perzinaan di KUHP yang baru,” ujarnya kegalauan pelaku industri pariwisata.
Mencegah Tindakan Semena-mena
Ia mengatakan bahwa salah satu fungsi dibuatnya KUHP baru oleh bangsa Indonesia adalah menjaga norma yang ada dan hidup di tengah masyarakat Indonesia. Diantaranya ialah norma terkait kesusilaan.
BACA JUGA: Menikmati Pegunungan Trawas, Kini Sudah Bisa Stay di Locca Lodge Hotel
“Dalam KUHP ini pasal tentang perzinaan itu justru untuk mencegah tindakan semena-mena masyarakat,” ucapnya.
Ia menjelaskan pula bahwa tidak akan ada proses hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak. Atau yang dirugikan secara langsung. Di mana terdapat aturan pula terkait siapa yang dapat mengajukan laporan tersebut.
“Tidak bisa semua orang dapat melaporkan adanya dugaan perzinaan kepada pihak berwajib. Yang dapat melaporkan adanya perzinaan itu sesuai dengan pasal 412 adalah suami atau istri. Orangtua atau anak dari pihak yang diduga pelaku perzinaan,” ujarnya.
BACA JUGA: Pura Luhur Uluwatu, Wisata Religi Bali dengan Sajian Alam dan Budaya
Santoso pun mengatakan hingga kasus perzinaan tersebut belum masuk pada sidang peradilan, maka kasus itu dapat dihentikan jika pihak pelapor mencabut laporannya.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah dan para pemangku kepentingan memiliki tugas selama tiga tahun untuk mensosialisasikan KUHP baru. Sebelum KUHP ini resmi diberlakukan sebagai hukum positif di Indonesia.
Berdasarkan draf final RUU KUHP, 6 Desember 2022, pasal kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan) dan perzinaan diatur pada Bagian Keempat tentang Perzinaan, yakni Pasal 411, Pasal 412, dan Pasal 413.
Ancaman itu hanya berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan.
Adapun mereka yang berhak mengadukan ialah suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. Termasuk orang tua maupun anak bagi orang yang tidak terikat perkawinan. ***
Sumber: Antaranews