TURISIAN.com – Aroma rempah, padi, dan umbi-umbian menyeruak di pelataran Museum Nasional Indonesia, Jakarta saat berlangsungnya Kenduri Budaya Pangan Lokal Nusantara.
Kegiatan ini berlangsung selama sepekan penuh, 13–19 Oktober 2025.
Sebuah perayaan rasa syukur yang menjelma jadi ruang refleksi tentang pangan, budaya, dan identitas bangsa.
Kegiatan yang digelar bertepatan dengan Hari Pangan Internasional ini mengusung tema “Menabur Benih, Menuai Kehidupan”.
Bagian dari Gerakan Pangan Lokal Nusantara yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).
“Pangan lokal kita adalah warisan budaya yang mencerminkan identitas, tradisi, dan kearifan leluhur. Ia terbentuk dari interaksi panjang antara manusia, alam, dan kepercayaan,” ujar Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Oktober 2025.
Sementara filosofi kenduri diangkat sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.
Fadli menyebut, tradisi makan bersama itu bukan sekadar ritual sosial. Melainkan cerminan kekuatan nilai budaya yang menjaga keseimbangan hidup.
“Melestarikan budaya pangan lokal berarti memperkuat kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Terlabih di tengah tantangan global seperti perubahan iklim dan ketergantungan impor,” katanya.
Pameran Semai: Dari Tanah ke Meja Makan
Sedangkan puncak dari kenduri di Museum Nasional Indonesia ini adalah pameran bertajuk Semai: Menabur Benih, Menuai Kehidupan.
Sementara kurator Meilati Batubara menjelaskan, kegiatan ini tak hanya menghadirkan pameran benda budaya.
Tetapi juga lokakarya, pasar rakyat, dan diskusi kebudayaan yang melibatkan masyarakat adat dari berbagai daerah.
“Yang paling penting adalah pertemuan masyarakat adat di Jakarta. Mereka mendapat pembekalan tentang tata kelola dan pelestarian budaya pangan di wilayah masing-masing,” ujar Meilati.
BACA JUGA: Kemenpar Ajak Famtrip ke Sumatera Barat, Menyelami Rasa dan Budaya Minang
Pada pameran Semai menampilkan perjalanan pangan dari tanah hingga meja makan. Melalui visualisasi interaktif, pengunjung diajak menyusuri kisah pertanian berkelanjutan masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Sebanyak 163 artefak ditampilkan, terdiri atas 120 koleksi Museum Nasional dan 43 koleksi Fadli Zon Library.
“Kami juga memamerkan beragam benih dari bumi Nusantara,” tutur Direktur Eksekutif Badan Pengelola Museum dan Cagar Budaya, Esti Nurjadin.
“Pameran ini adalah ruang refleksi yang mempertemukan pengetahuan lokal dengan kesadaran ekologis, diperantarai oleh seni dan budaya,” tambahnya.
Menurut Esti, Semai mengajak publik menengok kembali hubungan manusia dengan sumber pangan—sebagai warisan, identitas, sekaligus penanda keberlanjutan.
“Di sini kita belajar bahwa dari akar tradisi, selalu tumbuh harapan baru,” ucapnya.
Pangan sebagai Diplomasi Budaya
Sementara itu Fadli Zon menegaskan bahwa isu pangan menjadi salah satu prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Gerakan Pangan Lokal Nusantara, kata dia, merupakan bentuk nyata dukungan terhadap program nasional ketahanan pangan
Dimana program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Seperti Zero Hunger dan Responsible Consumption and Production.
Fadli mengajak masyarakat memandang pangan bukan sekadar kebutuhan konsumsi, melainkan ekspresi budaya dan kekuatan bangsa.
“Jika dikembangkan serius, pangan lokal bisa menjadi ekosistem ekonomi budaya, sekaligus wajah diplomasi Indonesia di kancah dunia,” ujarnya.
Di tengah tantangan global dan arus modernisasi yang serba instan, Kenduri Budaya Pangan Lokal Nusantara menjadi pengingat.
Bahwa dari sebutir beras, sepotong singkong, hingga sehelai daun kelor. Tersimpan kisah panjang tentang manusia, alam, dan peradaban yang tumbuh bersama waktu. ***