TURISIAN.com – Kereta itu tak lagi mengangkut penumpang, tetapi masih menyimpan cerita. Di Stasiun Jakarta Kota, sejak 10 November 2025, delapan gerbong KRL seri Jalita 8500 disulap menjadi ruang nostalgia.
Mini Museum KRL, pertama di Indonesia dibuka sebagai salam perpisahan untuk tiga rangkaian kereta impor Jepang. Dimana saat ini memasuki masa purnatugas, Jalita 8500, Tokyo Metro 7000, dan JR East 203.
Temanya sederhana, namun menyentuh yakni “Arigato KRL.”
“Terus terang kami ingin memberi kesempatan terakhir bagi para penumpang dan pencinta KRL untuk bertemu kembali dengan kereta yang pernah menemani mereka sehari-hari,” kata Ketua Pelaksana Mini Museum KRL, Adam Fardl Al Fath, Sabtu, 15 November 2025.
Ia ditemui di gerbong Jalita yang kini penuh pajangan foto, poster jadul, dan detail teknis perkeretaapian.
Museum mini ini diinisiasi oleh Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), komunitas pemerhati perkeretaapian yang selama ini gencar mengampanyekan pelestarian aset sejarah transportasi rel.
Selama sepekan, pengunjung diajak menelusuri lorong waktu melalui interior kereta yang tidak diubah banyak sejak kedatangannya dari Jepang puluhan tahun lalu.
Dua rangkaian lain, Tokyo Metro 7000 dan JR East 203, sudah lebih dulu melakukan “perjalanan terakhir” ke Depo KRL Depok pada 11 November.
BACA JUGA: Angklung Siap Mengaspal di Kota Bandung, Angkot Listrik Rute ke Stasiun Kereta
Kampung Bandan
Jalita 8500 akan menyusul, meninggalkan Stasiun Jakarta Kota menuju Depok via Kampung Bandan pada hari penutupan museum, Minggu, 16 November 2025.
Setelah itu, kereta-kereta ini tinggal menjadi ingatan.
Sementara itu di dalam gerbong, bukan hanya sejarah teknis yang dipamerkan.
Poster kampanye antipelecehan seksual dan peringatan keselamatan di perlintasan kereta dipasang bersisian dengan koleksi seragam petugas KAI Commuter dari masa ke masa. Serta deretan desain Kartu Multi Trip (KMT) yang kini menjadi barang koleksi.
Sedangkan sentuhan budaya asalnya tak luput dihadirkan. Di salah satu gerbong, ornamen bunga sakura dipasang.
Hal ini sebagai pengingat bahwa kereta ini pernah melaju di negeri lain sebelum menjadi bagian dari keseharian warga Jabodetabek.
Seperti lazimnya pameran yang bersinggungan dengan memori kolektif, museum dadakan ini ramai diserbu pengunjung.
Mayoritas remaja laki-laki, sebagian datang berkelompok, mengangkat gawai di tiap sudut. Seolah takut kehilangan momen terakhir bersama kereta. Kereta yang pernah mengantar mereka ke sekolah, kampus, atau tempat kerja.
“Ini bukan sekadar kereta,” kata seorang pengunjung muda sambil memotret kabin motorman. “Ini bagian dari hidup.”
Museum itu hanya berlangsung sepekan. Tapi bagi sebagian orang, seminggu saja sudah cukup untuk mengucapkan satu kata yang mewakili semuanya, arigato. ***





