TURISIAN.com – Desa Wisata Hariara Pohan di tepian Danau Toba, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, mulai mencuri perhatian sejak mengikuti ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.
Tak sekadar mempercantik wajah wisata, desa ini diam-diam merintis lompatan besar dalam pengelolaan sampah.
Sejak Agustus 2024, desa itu menjalankan sistem 3R: reduce, reuse, recycle.
Sementara itu, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ni Luh Puspa, tak bisa menyembunyikan apresiasinya.
Dalam kunjungan ke Hariara Pohan, Minggu, 4 Mei 2025, ia meninjau langsung tempat pengelolaan sampah terpadu.
“Ini fondasi penting dalam menciptakan pariwisata yang nyaman dan lestari,” kata Ni Luh.
Menurutnya, Danau Toba sebagai destinasi nasional dan global, pantas menjadi teladan.
Bukan hanya karena keindahan panoramanya, tapi karena warganya mulai sadar akan keberlanjutan.
“Pengelolaan sampah yang baik tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga ekonomi warga,” ujar dia.
Sepanjang 2024, Samosir kedatangan lebih dari 1,2 juta wisatawan. Yakni, dua kali lipat dari target awal.
Di balik angka itu, tumpukan sampah mengintai, terutama dari spot populer seperti Bukit Holbung.
BACA JUGA: Air Terjun Sipiso-piso yang Memukau, Pelengkap Pesona Keindahan Danau Toba
GoTo Foundation
“Dulu, sampahnya seperti air mancur dari atas bukit,” kenang Muhammad Yusuf Sihotang, Ketua TPS3R sekaligus pengelola Desa Wisata Hariara Pohan.
Perlahan, keadaan berubah. Dukungan datang dari berbagai arah. PT Astra menyuplai pelatihan, pendampingan, hingga infrastruktur.
GoTo Foundation menyokong dengan gerakan Aksata Pangan dan Roda Hijau.
Sebuah program pemanfaatan sampah plastik menjadi energi melalui mesin pirolisis, sekaligus pengembangan pangan lokal lewat “Sopo Pangan”.
Sopo Pangan menjadi dapur inovasi. Labu, ubi, cokelat, jagung, dan kemiri diolah menjadi bolu dan camilan bernilai ekonomi.
Produk itu dipasarkan daring dan dijajakan langsung di destinasi. Tak heran, Hariara Pohan menggondol Juara 2 ADWI 2023 untuk kategori homestay.
Di sela kunjungan Wamenpar, warga menyambut dengan kudapan khas, seperti natonggi, nanisorbukan, dan tentu bolu Sopo Pangan.
TPS3R kini tak hanya melayani desa sendiri, tapi juga desa sekitar. Plastik dipilah, dicacah, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaktor berkapasitas 20 kilogram.
Setelah 6–8 jam pada suhu 300 derajat Celsius, plastik berubah menjadi solar.
“Sudah 7.000 kg sampah kami olah. Solar yang dihasilkan lebih dari 200 liter,” kata Yusuf.
Solar itu dipakai petani untuk menghidupkan mesin diesel. Plastik gelas minuman memberi hasil maksimal, 20 kg bisa jadi 24 liter solar.
Plastik kantong lebih rendah, hanya 18 liter. Jika suhu turun jadi 270 derajat, hasilnya berubah jadi minyak tanah.
Langkah ini seirama dengan program prioritas Kemenparekraf: Gerakan Wisata Bersih 2025 (GWB), yang digelar di 16 titik. Termasuk Waterfront City Pangururan dan Pantai Bebas Parapat, awal Mei lalu.
Turut mendampingi Wamenpar, sejumlah pejabat Kemenparekraf hadir. Seperti Deputi Destinasi dan Infrastruktur Hariyanto, Staf Ahli Transformasi Digital Iyung Masruroh.
Hadir juga Asdep Amenitas dan Aksesibilitas Bambang Cahyo Murdoko. Direktur BPODT Jimmy B. Panjaitan pun ikut menyaksikan bagaimana desa kecil di jantung Toba mengubah sampah jadi harapan. ***