Luka Lama di Bukit Duri, Film yang Menggambarkan Trauma Lintas Generasi

Bukit Duri
Morgan Oey (kiri), salah satu aktor yang bermain dalam film "Pengepungan di Bukit Duri" saat menghadiri acara gala premiere, Kamis 10 April 2025, lalu. (Instagram/@morganoey)

TURISIAN.com – Film Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar panggung ketegangan. Ia menjelma menjadi ruang kontemplasi bagi para pemainnya.

Sekakigus,  juga penontonnya untuk menakar ulang luka sosial yang masih menganga di tubuh bangsa.

Morgan Oey, Omara N. Esteghlal, dan Hana Malasan tak sekadar memainkan peran. Di balik tokoh-tokoh yang mereka hidupkan, terpatri keresahan pribadi yang selama ini mengendap.

Mereka bicara soal kekerasan yang menular antargenerasi, sistem rusak yang dibiarkan membusuk. Dan beban pendidikan yang dipikul tanpa daya.

Morgan Oey, yang memerankan Edwin, menyebut film ini menyentuh soal trauma lintas generasi. Tema yang menurutnya masih membekas dalam kehidupan sehari-hari.

“Efek dari masa lalu itu nyata dan menurun. Budaya kekerasan masih terus hidup. Dari saya sekolah dulu, sampai sekarang, tak ada habisnya. Kita bisa lihat sendiri di media sosial,” ujar Morgan usai pemutaran film di Jakarta, belum lama ini.

Edwin, tokoh yang ia mainkan, adalah potret generasi muda yang terperangkap dalam siklus kekerasan.

Bagi Morgan, peran itu adalah cermin dari kegelisahannya atas warisan luka yang belum sembuh dan terus menjangkiti generasi berikutnya.

BACA JUGA: Kemenekraf dan BPI Susun Strategi Perang terhadap Pembajakan Film

Budaya Pasrah

Omara N. Esteghlal angkat bicara soal Jefri, tokoh yang ia perankan. Lewat Jefri, Omara menyoroti budaya pasrah dan tunduk pada sistem yang tak layak ditaati.

“Kita tumbuh diajari untuk menghormati sistem yang sebenarnya sudah busuk. Feodalisme masih kuat. Tanpa sadar, kita jadi budaknya,” kata Omara.

“Mau bicara pun sulit, padahal katanya kita punya suara,” sambungnya.

Jefri, bagi Omara, adalah representasi dari generasi yang frustrasi—ingin menggugat, tapi tersandung dinding sistemik yang menahun.

Hana Malasan memerankan Guru Diana. Bagi Hana, peran itu terasa personal. Ia lahir dari keluarga akademisi, dan keresahannya terhadap dunia pendidikan sudah lama tertanam.

“Guru kerap dijadikan kambing hitam ketika sistem pendidikan gagal,” ujar Hana.

Padahal mereka juga korban. Mereka ingin menolong, ingin memperbaiki, tapi ruang gerak mereka dibatasi.

Lewat Diana, Hana menyuarakan suara para pendidik yang terbungkam—mereka yang terjepit antara idealisme dan realitas lapangan yang karut-marut.

Ketiganya sepakat bahwa Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar hiburan. Ia adalah cermin, mungkin juga peluru, untuk menggugah kesadaran.

“Film ini bisa jadi ruang diskusi. Untuk membuka luka-luka yang selama ini ditutup rapat,” pungkasnya. ***

Pos terkait