“Lebaran Ketupat di Desa Reksonegoro bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah perayaan warisan, simbol akulturasi, dan peluang wisata baru di tanah Gorontalo”.
Di Desa Reksonegoro, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo, bau ketupat yang dikukus dalam anyaman janur mulai tercium sejak pagi.
Suara tawa anak-anak, iringan musik rebana, serta aroma opor ayam dan sambal goreng menandai datangnya hari ke-7 Syawal—hari yang dikenal masyarakat setempat sebagai Lebaran Ketupat.
Namun, tahun ini tak seperti biasanya. Di pelataran rumah panggung bercat putih susu, Wakil Gubernur Gorontalo Idah Syahidah Rusli Habibie berdiri di tengah kerumunan. Ia tak sekadar datang untuk bersilaturahmi.
Kepada masyarakat dan para pejabat yang hadir, Idah menyampaikan harapannya: menjadikan Lebaran Ketupat sebagai wisata religi unggulan di Gorontalo.
“Insya Allah, ke depan, dengan sinergi semua pihak, Reksonegoro bisa menjadi destinasi religi dan budaya. Tradisi Jaton ini sangat khas,” ujar Idah, Selasa, 8 April 2025.
Lebaran Ketupat adalah bagian dari identitas etnik Jaton, akronim dari Jawa Tondano—komunitas keturunan pasukan Diponegoro yang dibuang ke Minahasa oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19.
Tahun 1925, sebagian keturunan mereka bermigrasi ke Gorontalo, membangun pemukiman baru di Reksonegoro. Tahun ini, genap seabad usia migrasi tersebut.
BACA JUGA: Puncak Bukit Ceria Dunu, Destinasi Baru yang Dikembangkan Pemda Gorontalo
Menjaga Islam
“Kalau bicara warisan budaya, Jaton itu unik. Mereka menjaga Islam, budaya Jawa, dan beradaptasi dengan Gorontalo. Itu kekayaan,” kata Siti Nurjanah, antropolog dari Universitas Negeri Gorontalo.
Di Reksonegoro, rumah-rumah kayu bertiang tinggi berdiri rapat di kiri-kanan jalan desa. Meski banyak yang telah direnovasi, bentuk arsitekturnya masih mengacu pada gaya tradisional Jawa-Melayu.
Tidak ada bangunan tinggi mencolok. Suasana desa tenang, nyaris tak berubah dari puluhan tahun lalu.
“Rumah saya sudah dibenahi, tapi tiangnya masih kayu jati dari kakek saya,” ujar Slamet Raharjo, warga generasi ketiga Jaton yang juga tokoh masyarakat desa.
Ia menyambut baik gagasan wisata religi. “Asal tidak merusak nilai sakralnya. Ini bukan sekadar festival.”
Lebaran Ketupat bagi warga Jaton bukan hanya soal makanan. Sebelum pesta, mereka menggelar doa bersama, ziarah makam leluhur, dan sedekah bumi.
Semua ritual dibungkus dalam nuansa religius dan kekeluargaan.
Tak heran jika perayaan ini perlahan menyebar ke desa-desa lain. Mulai dari Kaliyoso, Bongomeme, Isimu, hingga ke Tapa di Bone Bolango. Bahkan menembus Mananggu, Boalemo, dan Atinggola, Gorontalo Utara.
Pemerintah daerah mulai menangkap peluang itu. Dinas Pariwisata Gorontalo menyatakan akan memasukkan Lebaran Ketupat dalam kalender pariwisata tahunan.
“Kami siapkan dukungan promosi dan infrastruktur pendukung,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Gorontalo, Ahmad Haris.
Meski begitu, tantangan tetap ada. Akses menuju Reksonegoro masih terbatas. Jalan desa sempit, dan fasilitas umum belum sepenuhnya mendukung kegiatan berskala besar.
Sementara itu, beberapa tokoh adat juga khawatir, komersialisasi akan menggerus makna spiritual tradisi.
Namun bagi Idah Syahidah, tantangan itu bukan halangan.
“Kita bisa atur agar wisata dan budaya tetap seimbang. Masyarakat harus dapat manfaat ekonomi tanpa kehilangan akar mereka.”
Bagi warga Reksonegoro, Lebaran Ketupat tetaplah perayaan iman dan warisan leluhur. Tapi jika kini ia bisa menjadi jendela dunia mengenal Jaton dan Gorontalo. Maka ketupat tahun ini bukan hanya simbol syukur, tapi juga harapan. ***