Mengenal 7 Jenang Tradisional Khas Kota Solo, Sarat dengan Filosofi

Jenang Khas Solo
Jenang Khas Solo.

TURISIAN.com – Jenang bagi masyarakat Jawa khususnya Kota Solo bukanlah sekadar makanan ringan yang banyak penggemarnya. Tetapi lebih dari itu jenang ini sudah menjadi bagian dari tradisi Kota Solo (Surakarta) dan sudah melekat hingga kini.

Bahkan camilan ini sudah melekat dan mengakar pada masyarakat Kota Solo sejak zaman kerajaan Hindu-Budha dan era Walisongo. Memiliki arti dan tempat tersendiri bagi kebudayaan, serta menjadi bagian dari sebuah tradisi di Kota Surakarta.

Jenang di Kota Solo kerap menjadi makanan pelengkap di berbagai acara hajatan. Seperti pernikahan, selamatan ibu hamil, selamatan bayi baru lahir, dan banyak acara hajatan lainnya.

Lebih dari itu, makanan tradisional ini ternyata memiliki arti filosofis dan menjadi simbol-simbol yang masyarakat Jawa yakini. Selain sebagai ungkapan rasa syukur, jenang juga menjadi simbol doa, persatuan, harapan, dan semangat.

Di Kota Solo sendiri ada belasan jenis camilan yang memiliki simbol dan arti yang berbeda-beda. Namun hanya ada 7 jenis jenang saja yang terkenal di Kota Solo dan sering hadir dalam berbagai acara hajatan. Sobat Turisian juga bisa mencoba kelezatannya.

Baca juga: 5 Makanan Khas Kota Solo yang Wajib Dinikmati Kelezatannya!

Ketujuh jenang tersebut, antara lain Jenang Sumsum, Jenang Candil, Jenang Sengkala, Jenang Procot, Jenang Lemu, Jenang Majemukan, dan Jenang Abang Putih. Nah untuk filosofinya, simak penjelasannya berikut ini, Sob!

1. Jenang Sumsum

Jenang sumsum memiliki makna dan menjadi simbol keberkahan dan kesehatan. Warnanya yang putih mirip dengan warna sumsum tulang yang juga memiliki warna putih. Jenang sumsum menjadi sarana untuk mempererat hubungan antar masyarakat.

Biasanya jenang ini ada dalam berbagai macam rangkaian upacara adat. Seperti pernikahan hingga khitanan. Banyak yang percaya jenang sumsum bisa mendatangkan keberkahan dan kesehatan.

2. Jenang Candil

Berikutnya makanan tradisionla yang satu ini memiliki makna yang cukup dalam. Jenang candil diyakini sebagai simbol keharmonisan dalam hidup yang penuh dengan perbedaan.

Camilan ini diibaratkan sebuah kehidupan yang berputar seperti roda. Penyajiannya biasanya saat selamatan sebagai simbol rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Jenang Sengkala

Terdiri dari jenang abang (merah) dan putih yang merupakan simbol peradaban manusia di dunia. Jenang abang melambangkan lelaki dan jenang putih melambangkan perempuan.

Baca juga: Yuk Jalan-Jalan Keliling Kota Surakarta Naik Batik Solo Trans!

Jenang sengkala ini bertujuan agar manusia selalu ingat bahwa dunia terisi oleh dua esensi feminin dan maskulin.

4. Jenang Procot

Jenang khas Solo selanjutnya ini memiliki makna untuk mendoakan agar ibu yang hamil mendapat kelancaran dalam melahirkan. Camilan procot ini biasa hadir dalam upacara mitoni atau tujuh bulanan.

5. Jenang Lemu

Camilan tradisional khas Solo yang satu ini memiliki makna kuat atau tidak lemah serta membangun semangat baru dalam kehidupan. Jenang lemu biasa menjadi sajian dalam berbagai upacara tradisi budaya Jawa.

6. Jenang Majemukan

Jenang majemukan ibaratnya manusia sebagai makhluk sosial. Makanan manis ini sebagai simbol untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Terutama yang ada pada masyarakat yang plural dan multikultural. Serta menjadi nilai penting dalam kehidupan sehari-hari.

7. Jenang Abang Putih

Untuk jenang yang ini memiliki arti merah dan putih yang merepresentasikan penciptaan atau asal-usul manusia laki-laki dan perempuan. Juga mempunyai makna untuk selalu melihat sesuatu dengan sudut pandang yang luas dan tetap fokus dengan apa yang menjadi tujuan kita.

Itulah ketujuh macam jenang yang terkenal di Kota Solo. Selain memiliki makna yang kuat, juga merupakan bagian tradisi dan menjadi warisan yang perlu Sobat Turisian jaga kelestariannya.

Baca juga: Wisata Belanja di Pasar Gede yang Terkenal Sebagai Pasar Tertua di Kota Solo

Bahkan di Solo sendiri berlangsung festival jenang setiap tahunnya. Hal tersebut sebagai salah satu upaya untuk memperingati tradisi dan menjadikan camilan tradisional ini tetap lestari di masa depan.*

 

 

 

Sumber & Foto: Diskominfo Surakarta

Pos terkait