Dari Peternakan Rakyat, Kini Jadi Domba Ketangkasan yang Menarik Wisatawan

Peternakan rakyat
Ilustrasi seorang wanita muda sedang memandikan domba ketangkasan. (Instagram/@yuli_aulia25)

TURISIAN.com – Di banyak tempat, peternakan rakyat hidup dalam senyap. Ia bertumbuh di halaman belakang rumah, di kandang-kandang kayu sederhana, dan dalam rutinitas yang jarang mendapat perhatian.

Sektor ini kerap dipandang sebagai aktivitas sambilan atau pelengkap hidup, bukan tumpuan masa depan.

Namun di Sumedang, Jawa Barat, cerita itu berbeda. Domba dan kambing bukan sekadar ternak.

Ia menyatu dengan identitas orang Sunda, menjadi medium silaturahmi, sekaligus penopang ekonomi yang diwariskan lintas generasi.

Denyut itu kembali terasa di perbukitan Rancakalong, Minggu pagi, 21 Desember. Sejak matahari belum sepenuhnya naik, sorak-sorai menggema dari arena ketangkasan domba dan kambing.

Selama dua hari, ratusan pasang mata menyaksikan hewan-hewan bertanduk itu melangkah lincah, beradu teknik, dan mempertontonkan kualitas.

Riuh arena bukan semata penanda kompetisi. Di baliknya, tersimpan makna yang lebih dalam.

Sebuah perhelatan yang merawat tradisi sekaligus menyampaikan pesan tentang potensi peternakan rakyat sebagai penggerak sosial dan ekonomi daerah.

“Acara seperti ini memperkuat silaturahmi orang Sunda,” ujar Jajang Suryana, Ketua Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) Sumedang.

“Di sisi lain, kualitas budidaya ikut meningkat. Ekonomi masyarakat pun bergerak.”

Bagi masyarakat Sunda, ketangkasan domba bukan barang baru. Tradisi ini telah lama hidup, tumbuh dari kampung ke kampung.

Organisasi Peternak

Namun kali ini, perhelatan itu tak berhenti sebagai hiburan atau seremoni ulang tahun organisasi peternak.

Ia menjelma menjadi ruang temu antara hobi, budaya, dan kepentingan ekonomi.

Sementara itu, bagi Jajang, ketangkasan domba bukan sekadar tontonan. Tradisi ini terus diperbarui agar peternak tak hanya bergantung pada kandang, tapi mampu menaikkan kelas usaha mereka.

Di arena, kontes berjalan beriringan dengan penyuluhan. Mulai dari kesehatan hewan, teknik pemeliharaan, hingga strategi meningkatkan nilai jual ternak.

Hewan yang dirawat dengan pakan dan standar kesehatan baik terbukti lebih kompetitif.

BACA JUGA: Dieng Culture Festival 2024 Dimulai, Festival Domba Batur Jadi Sorotan

Dari kandang-kandang rakyat, lahir domba dan kambing unggulan dengan harga yang tak lagi dianggap remeh.

Untuk kualitas tertentu, nilai jual puluhan hingga ratusan juta rupiah bukan lagi pengecualian.

“Ketika kualitas dipamerkan, harga ikut naik. Itu yang menggerakkan ekonomi kerakyatan,” kata Jajang.

Tak heran jika arena ketangkasan menjelma rumah besar bagi para peternak. Di sana, mereka berbagi pengalaman, memperluas jejaring, sekaligus membuka peluang pasar.

Pasar Mulai Terbentuk

Di salah satu sudut arena, Tia, 28 tahun, memperkenalkan kambing pygmy, jenis kambing berukuran mini yang masih jarang dikenal publik.

“Ukurannya kecil, tapi harganya bisa belasan juta rupiah,” ujarnya.

Banyak pengunjung berhenti, bertanya, dan memotret. Ketertarikan pasar mulai terbentuk.

Data Dinas Perikanan dan Peternakan Sumedang per Februari 2025 mencatat populasi domba mencapai 82.040 ekor.

Kambing menyusul 34.690 ekor, sapi potong 29.400 ekor, dan sapi perah 4.215 ekor.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa peternakan rakyat bukan aktivitas pinggiran, melainkan salah satu tulang punggung ekonomi daerah.

Dengan kemasan yang tepat, ketangkasan domba berpotensi menjadi magnet wisata. Tradisi lokal bertemu rasa ingin tahu publik, menciptakan pengalaman khas yang sulit ditiru daerah lain.

Pengunjung cukup membayar parkir Rp5 ribu. Nilai kecil, namun berarti bagi kas warga. Linmas dilibatkan.

Lebih dari 25 kios UMKM berdiri di lokasi, ditambah puluhan pedagang kaki lima yang memadati akses jalan. Selama dua hari, denyut ekonomi terasa di kawasan perbukitan Rancakalong.

Citra Dewi, pengunjung asal Cimahi, datang tanpa rencana.

“Sekalian liburan, ternyata ada acara ini. Kambing-kambingnya bagus, terutama yang kecil. Katanya pygmy, saya baru pertama kali lihat,” katanya.

Lebih dari 200 peserta terlibat, dengan ratusan ekor domba turun ke arena. Di sela-sela kontes, susu kambing dibagikan kepada pengunjung.

Sebuah penegasan bahwa peternakan bukan semata soal untung, tapi juga manfaat sosial.

Penyelenggaraan dibuat bertahap. Hari pertama dikhususkan bagi peternak Sumedang, sebelum dibuka untuk umum keesokan harinya.

Pendekatan ini menegaskan keberpihakan pada peternak lokal, sekaligus menjaga kualitas kompetisi.

Apa yang terjadi di arena memang hanya dua hari. Namun maknanya jauh lebih panjang.

Ia menjadi cermin bagaimana tradisi lokal, ketika dirawat dengan pendekatan modern dan kolaboratif, mampu menjadi motor penggerak ekonomi rakyat.

Dari kandang-kandang sederhana di desa, Sumedang menunjukkan bahwa masa depan peternakan rakyat bukan sekadar bertahan. Melainkan tumbuh, dengan identitas, nilai, dan daya saingnya sendiri. ***

Pos terkait