TURISIAN.com – Setiap awal November, aroma kopi menyeruak dari sudut-sudut Desa Wisata Osing Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, bercampur dengan tawa warga yang sibuk menyiapkan meja di depan rumah masing-masing.
Malam itu, jalan utama desa berubah menjadi ruang perjamuan raksasa, Festival Kopi Sepuluh Ewu.
Sementara itu Kepala Desa Kemiren, Mohamad Arifin, menyebut tradisi ini lahir dari kebiasaan masyarakat Osing yang selalu menyuguhkan kopi bagi tamu.
“Suguhan kopi itu tanda penghormatan. Dari situlah muncul gagasan menjadikannya agenda tahunan,” ujar Arifin, Minggu 19 Oktober 2025.
Sedangkan Ffestival yang akan kembali digelar 8 November 2025 ini merepresentasikan tiga nilai utama dalam menyambut tamu: suguh, gupuh, dan lungguh.
Suguh berarti menyajikan hidangan terbaik, gupuh menggambarkan keramahan tuan rumah, dan lungguh melambangkan penghormatan dengan memberikan tempat yang layak bagi tamu.
Dalam pelaksanaannya, setiap keluarga menjejerkan meja di sepanjang jalan desa. Kopi dan gula disediakan gratis, disubsidi oleh desa, sementara jajanan pendamping dijual oleh UMKM lokal.
“Wisatawan bisa menikmati kopi tanpa dipungut biaya, tapi di saat yang sama ikut menggerakkan ekonomi warga,” kata Arifin.
Selain menyeruput kopi, pengunjung juga disuguhi aneka pertunjukan seni tradisional.
Musik, tarian, dan ritual adat mengiringi suasana malam yang hangat, menghadirkan pengalaman khas budaya Osing yang masih lekat dijaga.
BACA JUGA: Jalur Laut Baru Banyuwangi-Denpasar, Ada Kapal Cepat Melintas Mulai Juni 2025
Dari Anjungan Budaya ke Desa Wisata Dunia
Kemiren tak sekadar menawarkan pesona kopi. Di balik gemerincing cangkir dan lantunan gamelan, tersimpan kisah panjang pelestarian budaya Osing.
Arifin bercerita, cikal bakal desa wisata ini berawal dari Anjungan Wisata Osing—sebuah inisiatif warga untuk menjaga bahasa, arsitektur, serta upacara adat.
“Setelah ada perubahan birokrasi, Anjungan itu berubah menjadi Desa Wisata Osing. Lama-lama dikenal luas sebagai Desa Wisata Osing Kemiren,” ujarnya.
Kini, wilayah ini menjadi etalase kehidupan masyarakat Osing yang tersebar di sembilan kecamatan Banyuwangi.
Kemiren tak mengandalkan lanskap alam untuk menarik wisatawan. Daya pikat utamanya adalah atraksi budaya, seni, dan edukasi tentang tradisi Osing.
Untuk mendukung pengalaman wisata, warga dilatih mengelola homestay dengan pendekatan berbasis kearifan lokal.
Hasilnya tak main-main. Awal 2025, Desa Wisata Osing Kemiren meraih The 5th ASEAN Homestay Award. Penghargaan internasional yang menyoroti kesederhanaan dan keramahan pengelola homestay.
“Nilai-nilai lokal tetap dijaga. Tamu disambut seperti keluarga,” tutur Arifin.
Magnet Wisata dari Kopi hingga Budaya
Sejak penghargaan itu diraih, jumlah pengunjung meningkat hingga 60 persen. Wisatawan mancanegara mulai berdatangan. Kebanyakan dari Australia, mereka tertarik belajar menyangrai kopi secara tradisional atau mengikuti upacara adat.
Banyak pula yang awalnya sekadar transit dari Bali menuju Kawah Ijen, lalu menetap lebih lama setelah terpikat suasana desa.
“Sekarang yang datang bukan hanya ingin berfoto, tapi ingin memahami kehidupan masyarakat Osing,” kata Arifin.
Bagi turis yang ingin merasakan pengalaman lebih dekat, pihak desa menyediakan paket wisata. Para pelancong ini memilih menginap di homestay.
Mereka juga berkeliling rumah adat, mengunjungi museum desa, melihat Pasar Kampoeng Osing, hingga belajar menyangrai kopi di tungku tradisional.
Informasi lebih lanjut bisa diperoleh lewat akun Instagram @desakemiren_official.
Di Kemiren, secangkir kopi bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol keramahan, jembatan budaya, dan pengingat bahwa di desa kecil di ujung timur Jawa ini, tradisi masih diseduh dengan penuh cinta. ***