TURISIAN.com – Sejak 17 Oktober 2024, palu kebijakan diketuk. Pemerintah resmi mewajibkan semua produk makanan dan minuman memiliki sertifikasi halal.
Tak terkecuali, jasa penyembelihan, serta bahan tambahan.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Sementara itu, bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), terutama di sektor kuliner, peraturan ini bukan sekadar administrasi tambahan. Melainkan syarat utama agar produk mereka tetap legal beredar di pasaran.
“Jika tak mengantongi sertifikat halal, pelaku usaha terancam sanksi administratif,” bunyi imbauan resmi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Sedangkan bentuknya bisa berupa peringatan tertulis, denda, hingga penarikan produk dari peredaran.
Untuk menjawab kebutuhan itu, pemerintah membuka dua jalur sertifikasi halal: skema self declare dan reguler. Keduanya menyesuaikan skala dan kesiapan usaha.
BACA JUGA: Label No Pork No Lard, Bulan Jaminan Sudah Bersertifikat Halal, Ini Batas Waktunya
Gratis untuk Mikro dan Kecil
Sementara untuk skema self declare dirancang bagi usaha mikro dan kecil (UMK) dengan produk berupa barang jadi.
Di jalur ini, pelaku usaha menyatakan sendiri kehalalan produknya, namun tetap didampingi oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPH) yang telah tersertifikasi.
Setelah melewati verifikasi, BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal secara cuma-cuma. Tidak ada biaya.
Namun, sederet dokumen mesti disiapkan sejak awal. Seperti surat permohonan, Nomor Induk Berusaha (NIB), data penyelia halal, daftar produk.
Termasuk, bahan baku, alur proses produksi, Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), serta ikrar halal dari pelaku usaha.
Langkahnya pun berjenjang:
- Mendaftar melalui situs SIHALAL: ptsp.halal.go.id
- Verifikasi oleh pendamping PPH
- Validasi dan penerbitan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) oleh BPJPH
- Sidang fatwa oleh Komite Fatwa Produk Halal
- Sertifikat halal diterbitkan dan bisa diunduh
Reguler: Wajib untuk Skala Menengah dan Besar
Bagi pelaku usaha yang lebih besar, atau yang bergerak di jasa penyembelihan, metode reguler menjadi pilihan wajib.
Pemeriksaan kehalalan produk dilakukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) melalui audit dan uji laboratorium.
Penetapannya tetap berada di tangan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komite Fatwa Produk Halal.
Sebelum memulai, pelaku usaha harus memiliki NIB berbasis risiko. Syarat administrasinya pun mirip dengan jalur self declare, namun lebih ketat.
Penyelia halal dan juru sembelih halal (untuk jasa potong hewan) wajib mengantongi sertifikat pelatihan dan uji kompetensi.
Alur prosesnya meliputi:
- Pendaftaran melalui SIHALAL
- Verifikasi dokumen oleh BPJPH
- Perhitungan biaya pemeriksaan oleh LPH
- Pembayaran dan unggah bukti ke SIHALAL
- Penerbitan STTD oleh BPJPH
- Pemeriksaan dan pengujian oleh LPH
- Sidang fatwa
- Sertifikat halal diterbitkan dan dapat diunduh
Soal biaya, jalur reguler mematok Rp300 ribu untuk proses pendaftaran dan penetapan halal, serta Rp350 ribu untuk pemeriksaan oleh LPH.
Biaya tersebut belum termasuk uji laboratorium dan akomodasi tim pemeriksa.
Bagi pelaku UMKM yang masih bingung, BPJPH membuka kanal informasi di WhatsApp 0811-1068-3146 dan email layanan@kemenag.go.id.
Pemerintah berharap, kepatuhan terhadap sertifikasi halal tak hanya menjadi bentuk tanggung jawab hukum.
Tapi juga membuka jalan bagi UMKM untuk menembus pasar yang lebih luas. Khususnya konsumen muslim yang semakin sadar akan pentingnya jaminan kehalalan produk. ***