Industri Pariwisata Terpukul Nasional, Industri Andalkan Kolaborasi dan Inovasi

Industri pariwisata
Seorang wanita muda tengah menikmati keindahan alam Lombok. (Foto: Dok.Pixabay.com)

TURISIAN.com — Industri pariwisata nasional tengah kepayahan. Semester pertama 2025 ditutup dengan penurunan tajam di hampir semua sektor. Seperti perhotelan, taman wisata, spa, hingga penjualan tiket pesawat.

“Hotel turun 30–40 persen. Taman wisata seperti Ancol juga anjlok 12 persen. Ini situasi berat,” kata Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Haryadi Sukamdani, dalam keterangan resminya, 30 Juli 2025.

Penurunan ini, menurut Haryadi, bukan sekadar angka. Ia mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat, ketatnya efisiensi anggaran pemerintah, serta menjamurnya praktik usaha ilegal.

Mulai dari vila tak berizin hingga biro perjalanan tanpa kompetensi resmi.

“Ada suplai ilegal yang menekan pasar resmi, terutama di Bali,” ujarnya.

GIPI juga menyoroti inkonsistensi kebijakan yang mempersulit pelaku usaha.

Mulai dari pembatasan bagasi pesawat, larangan tur tertentu, hingga tingginya biaya sertifikat laik fungsi.

Belum lagi tumpang tindih regulasi daerah yang kerap berujung pada penyegelan usaha legal.

“Contoh kasus di Puncak menjadi pelajaran penting. Ini bukan soal aturan baru, tapi implementasinya yang semrawut,” kata Haryadi.

GIPI pun bergerak. Mereka menjalin komunikasi intensif dengan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, untuk menyinkronkan regulasi pusat dan daerah.

Di sisi lain, GIPI mendesak pemerintah daerah berani menggelontorkan belanja demi menggairahkan sektor pariwisata.

Sebagai bagian dari strategi pemulihan, GIPI akan menggelar Wonderful Indonesia Tourism Fair (WITF) ke-2 pada 9–12 Oktober 2025 di Nusantara International Convention & Exhibition, PIK 2, Jakarta.

BACA JUGA: GIPI Bali Genjot Lima Sektor Pariwisata, Siapkan Strategi Hadapi Penurunan MICE

Buyer Internasional

Pameran ini terbagi dua segmen. Yakni,  B2B dan B2C, dengan target 200–250 buyer internasional serta ratusan pelaku industri domestik.

“Format bundling antara tiket, akomodasi, dan paket wisata akan jadi ujung tombak promosi,” ujar Haryadi.

Selain itu, GIPI dijadwalkan tampil di ajang internasional bertajuk Discovering the Beneficence of Indonesia di Utrecht, Belanda, 30 Oktober–2 November 2025.

Acara ini dirancang sebagai pintu masuk memperluas akses pasar Eropa, menggandeng diaspora dan pelaku lokal.

GIPI juga menggagas sejumlah program berbasis komunitas. Salah satunya GB Cup and Extended Tourism. Sebuah, turnamen sepak bola anak usia 8–12 tahun yang dikemas sebagai paket wisata keluarga.

“Kalau anak-anak tanding, orang tuanya jalan-jalan. Satu rombongan bergerak, ini cara cerdas mendorong wisata domestik,” katanya.

Di sektor minat khusus, GIPI menyiapkan Nusantara Trail — kegiatan lintas alam bagi komunitas pencinta alam dan pelaku wisata petualangan dari berbagai daerah.

Di ranah pendidikan, GIPI tengah merintis Lembaga Akreditasi Mandiri Kepariwisataan (Lamparisata), demi menurunkan biaya akreditasi dan menjamin mutu pendidikan tinggi pariwisata.

“Implementasi Mutual Recognition Arrangement (MRA) ASEAN masih setengah hati. Padahal, ini penting untuk mobilitas tenaga kerja pariwisata yang terampil,” ujar Haryadi.

Menyadari keterbatasan APBN, GIPI mendorong pembiayaan alternatif. Mereka mendorong pemanfaatan dana CSR dan menjajaki pembentukan Dana Investasi Pariwisata Indonesia. Semacam investment fund yang tak hanya menyasar aset fisik, tapi juga pengembangan usaha.

Meski tekanan masih membayangi, Haryadi optimistis sektor pariwisata mulai bangkit di semester kedua tahun ini.

GIPI memproyeksikan rebound hingga 20 persen.

“Tapi kita butuh lebih dari sekadar anggaran. Kita butuh kolaborasi, inovasi, dan tentu saja… doa,” tuturnya. ***

Pos terkait