TURISIAN.com – Presiden Prabowo Subianto mengesahkan UU Kepariwisataan Nomor 18 Tahun 2025, perubahan ketiga atas UU Nomor 10 Tahun 2009.
Regulasi baru ini menjadi penanda arah baru pariwisata Indonesia: lebih berkelanjutan, lebih berkualitas, dan lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat lokal.
Dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 10 Desember 2025, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menjelaskan bahwa revisi ini merupakan kebutuhan mendesak.
“Kita harus menyesuaikan regulasi dengan perkembangan zaman dan tantangan yang terus berubah,” ujar Widiyanti.
Ia menegaskan, pembaruan aturan ini juga dimaksudkan untuk memperkuat posisi pariwisata sebagai salah satu pilar pembangunan nasional.
Widiyanti menyebut UU baru ini menekankan penyelenggaraan kepariwisataan yang “berkualitas, inklusif, adaptif, inovatif, sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan mengusung keterbaruan”.
Perubahan paling mendasar muncul pada pergeseran paradigma dari industri ke ekosistem kepariwisataan.
Logika pembangunan yang sebelumnya bertumpu pada kumpulan usaha kini dipahami sebagai sistem terpadu yang saling bergantung.
UU tersebut memberi ruang lebih luas bagi masyarakat setempat untuk menjadi bagian aktif dalam ekosistem pariwisata.
Pada sektor destinasi, UU ini memperkenalkan ketentuan baru tentang Pengelolaan Destinasi Pariwisata.
Pengelolaan harus dilakukan secara profesional, akuntabel, dan berkelanjutan. Unsur penguatan ekonomi lokal, inovasi, serta mitigasi bencana kini mendapat porsi yang lebih jelas dibanding aturan sebelumnya.
Pembaharuan lain ada pada strategi promosi. Pemerintah menegaskan komitmennya memperkuat citra pariwisata melalui promosi berbasis budaya, pelibatan diaspora, dan kolaborasi lintas kementerian.
BACA JUGA: Sejarah Kelam Baru bagi Industri Pariwisata Indonesia, GIPI Hilang di UU Kepariwisataan
Pemasaran Global
Menandai pendekatan pemasaran global yang lebih terintegrasi.
Bagi pelaku usaha, keuntungan dari regulasi baru ini cukup terasa. Pemerintah pusat maupun daerah kini dapat memberikan insentif fiskal. Mulai dari keringanan pajak daerah hingga fasilitas pembiayaan.
Serta, insentif nonfiskal berupa kemudahan perizinan, penyediaan sarana-prasarana, dan dukungan promosi.
Yang tak kalah penting, UU baru menghadirkan satu bab tersendiri mengenai Pariwisata Berbasis Masyarakat Lokal.
Masyarakat setempat tak lagi ditempatkan sebagai objek wisata, melainkan subjek yang turut mengambil keputusan dan mengelola destinasi.
Pendekatan ini bertujuan memastikan manfaat ekonomi dan sosial pariwisata mengalir lebih merata.
Widiyanti berharap UU ini menjadi pijakan baru bagi seluruh pemangku kepentingan.
“Mari menjadikan UU Nomor 18 Tahun 2025 sebagai momentum untuk membangun pariwisata yang berkualitas, berkelanjutan, dan berpihak kepada kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Untuk membaca salinan resmi beserta seluruh perubahannya, publik dapat mengakses laman JDIH Kementerian Pariwisata. ***





