TURISIAN.com – Hujan yang mengguyur kawasan Gunung Padang, Cianjur, sejak siang hingga malam, Kamis lalu, tak membuat rombongan Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi DKI Jakarta mengurungkan niat.
Pentas budaya tetap digelar, meski lokasi acara terpaksa dipindahkan dari area terbuka ke Pendopo Gunung Padang.
Di ruang yang lebih teduh itu, pertunjukan berlangsung hangat dan padu. Seolah cuaca buruk justru mempertebal suasana sakral situs prasejarah terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Penanggung jawab kegiatan, Dar Edi Yoga, menyebut perubahan lokasi bukan hambatan berarti.
“Ini bukan sekadar pentas seni. Ini ikhtiar merawat kebudayaan sekaligus meneguhkan jati diri bangsa,” ujar Dar melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat 5 Desember 2025.
Menurut dia, menghadirkan seni di Gunung Padang adalah bagian dari penghormatan kepada sejarah, sekaligus cara mengikat kembali identitas kebangsaan.
Pentas dibuka dengan alunan Sape dari grup SlarasBudaya oleh Ghodiel Sapeq dan Arke Nurdjatni Soedjatno.
Petikan instrumen tradisional Dayak itu memunculkan getar sakral yang langsung menangkap perhatian para tamu.
Meski dilakukan di ruang tertutup, gema Sape tetap menghadirkan kesan seolah penonton berada di pelataran Gunung Padang yang berkabut.
Selepas itu, Perkumpulan Arkamaya Sukma menurunkan Tari Bedhoyo Nawasena karya koreografer Martini Brenda.
Pertunjukan tersebut dibawakan tujuh penari: Lina Agung, Ragil Endang Srimulyani, Elisabeth Kusuma Indreswari, Ipung Purwanti, Martini Brenda, Mustika Handayani, dan Tiana Poesponegoro Soeharto.
Gerak halus dan ritmis berpadu dengan iringan musik Lumbini Tri Hasto, menghadirkan pesan keselamatan dan harapan masa depan.
Sementara itu, suasana makin hangat saat Komunitas SlarasBudaya menampilkan Tari Rejang Sari garapan I Ketut Rena.
Nilai Kebersamaan
Tarian yang dibawakan Grantyartha, Nurmadelina, Sri Utami P., Anna Diani Nari Ratih, Laras Kusumadewi, Susan Indahwati, Winedari Wiyono.
Lalu, Pritha Nandini, dan Arke Nurdjatni Soedjatno itu menegaskan nilai kebersamaan, ketulusan, dan kesetaraan nilai yang serupa dengan spirit Gunung Padang. Dimana, sejak lama menjadi ruang perjumpaan berbagai kebudayaan.
Apresiasi datang dari Ketua Tim Penelitian dan Pemulihan Situs Megalitik Gunung Padang, Ali Akbar.
Ia menyebut konsistensi PWI Jakarta menyandingkan kegiatan kebudayaan dengan pelestarian situs patut diapresiasi.
“Pagelaran seni di ruang bersejarah seperti Gunung Padang bukan hanya memperkaya pengalaman budaya. Tetapi juga menguatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga warisan peradaban,” kata Ali.
Ia berharap kegiatan serupa bisa berlangsung berkelanjutan.
Sedangkan Ketua Panitia, Rudolf Simbolon, didampingi Rosy Maharani, mengungkap suasana pendopo yang lebih intim justru meningkatkan antusiasme peserta.
Kedekatan Bathin
“Kedekatan ruang menciptakan kedekatan batin. Semua terasa lebih menyatu,” ujarnya.
Didukung oleh Oval Advertising dan Pertamina Hulu Indonesia, pagelaran ini menjadi penanda bahwa pelestarian budaya tak perlu tunduk pada cuaca.
Gunung Padang kembali menjadi ruang perjumpaan antara seni, sejarah, spiritualitas, dan keberagaman Nusantara.
Sejumlah tokoh terlihat hadir, antara lain Laksma TNI (Purn) Darbagus J.P, Romo Kolonel (Purn) Yos Bintoro, Pr., Romo Hubert CJD.
Hadir juga Kolonel Laut (KH) Pundjung, Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan PWI Pusat Anrico Pasaribu, Anggota Dewan Pakar PWI Pusat Raldy Doy.
Selanjutnya, Sekretaris PWI Jaya Arman Suparman, serta Wakil Ketua Bidang Kerja Sama PWI Jaya Tubagus Adhi.
Begitu pun dengan pentas budaya itu menjadi penegas bahwa seni adalah cahaya yang menyatukan masa lalu. Masa kini, dan masa depan—dipersembahkan sepenuh hati untuk Indonesia. ***





