Ketua PHRI DIY Minta Anggotanya Bijak Soal Royalti Musik, Jangan Putar Kalau Tak Mampu Bayar

Royalti Musik
Ilustrasi musik piano. (Dok.Unsplash.com/Sladjana Karvounis)

TURISIAN.com — Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Deddy Pranowo Eryono ingatkan soal royalti musik.

I mengimbau seluruh anggotanya agar lebih bijak dalam menyikapi polemik pemutaran musik berbayar di ruang-ruang usaha komersial.

“Kami sudah menyarankan jangan sampai anggota PHRI berurusan dengan hukum tentang royalti. Bila tidak mampu bayar royalti, lebih baik tidak memutar lagu,” ujar Deddy, Selasa (5/8).

Permintaan tersebut, kata Deddy, bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan bahwa saat ini sektor perhotelan dan restoran di Yogyakarta masih dalam kondisi pemulihan pasca-pandemi dan berbagai tekanan ekonomi.

“Saat sektor kami sedang tidak baik-baik saja, jangan menambah beban diri sendiri,” tambahnya.

Meski demikian, Deddy menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi menyeluruh terkait aturan pemutaran musik di tempat usaha.

“Kami memerlukan sosialisasi agar kami paham betul tentang mana yang boleh atau tidak, dan mekanisme pembayarannya,” ujarnya.

Secara hukum, pemutaran lagu di ruang publik seperti kafe dan restoran memang diwajibkan memiliki izin dan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

BACA JUGA: Event Lari CTC Berdampak Besar Terhadap Pariwisata Yogyakarta, Ini Kata PHRI

Layanan Streaming

Bahkan jika musik diputar dari layanan streaming seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music. Dimana,  sejatinya ditujukan untuk konsumsi pribadi. Namaun penggunaan untuk tujuan komersial tetap memerlukan lisensi tambahan.

Sedangkan tarif royalti musik biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas tempat usaha, misalnya jumlah kursi yang tersedia.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIY, Agung Rektono Seto, menegaskan bahwa pemanfaatan musik di tempat usaha merupakan bentuk penggunaan komersial yang memerlukan izin resmi.

“Musik yang diputar di tempat usaha adalah bentuk pemanfaatan komersial yang wajib mendapatkan izin dari pemilik hak cipta atau LMK,” katanya.

Agung mengacu pada Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa hak untuk mengumumkan atau memutar lagu di ruang publik merupakan hak eksklusif pemegang hak cipta.

Ia pun menyayangkan masih banyak pelaku usaha yang belum memahami aspek legal dari pemutaran musik di tempat umum.

“Pelanggaran hak cipta musik bukan hanya berdampak pada aspek hukum. Seperti sanksi administratif hingga pidana. Tetapi juga bisa merusak reputasi usaha dan mengganggu keberlangsungan operasional,” tegasnya. ***

Pos terkait