Festival Marunda 2025, Panggung Kreativitas dari Rusun ke Rekor MURI

Marunda
Museum Rumah Pitung di kawasan Marunda ini akan menjadi salah satu venue ebent Festival Marunda 2025. (Dok.IG)

TURISIAN.com  — Rumah susun Marunda di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, kembali bersolek.

Pada 26–27 Juli 2025 mendatang, kawasan hunian padat itu akan menjadi panggung perayaan Festival Marunda.

Sebuah ruang ekspresi sekaligus laboratorium pemberdayaan warga yang kian matang dari tahun ke tahun.

“Kalau tahun lalu fokusnya pada seni dan destinasi wisata, tahun ini kami mengangkat tema pengembangan sumber daya manusia,” ujar Kepala Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) Marunda, Burhanudin Selasa siang, 15 Juli 2025.

Fokus itu diwujudkan lewat sejumlah program berbasis potensi lokal. Rumah produksi mangrove, rumah kreatif, hingga pengrajin Batik Marunda dan Batik Maliha digandeng dalam rangkaian acara.

Sementara itu, pihak pengelola juga menggandeng lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan pelatihan bahasa Inggris. Termasuk, melukis, hingga keterampilan digital, terutama bagi generasi muda rusun.

Puncak festival tak hanya menonjolkan kreativitas. Pada Minggu, 27 Juli, sebanyak 500 bibit mangrove akan ditanam serempak. Berbarengan dengan 500 penari yang menampilkan Tari Raja Udang khas pesisir utara Jakarta.

Keduanya disiapkan untuk dicatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

“Kami ingin tunjukkan bahwa warga rusun bukan hanya bisa bertahan, tapi juga berprestasi,” kata Burhanudin.

Sehari sebelumnya, Sabtu, suasana akan semarak oleh gelaran lomba antarwarga, pertunjukan stand up comedy bertajuk “Rusun Tawa”.

BACA JUGA: Jay Park Guncang Jakarta, Dari “Ohx3” hingga “Anjay”

Mak-mak Nyablak

Bahkan, ada juga  aksi para ibu dalam pentas “Mak-Mak Nyablak” yang mengusung logat khas Betawi dan sejarah Marunda.

Sedangkan, festival ini juga menjadi momentum peresmian Ruang Bersama Indonesia.

Sebuah proyek percontohan nasional yang akan ditandatangani langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Jika sukses, program ini akan direplikasi di berbagai daerah.

Selain urusan seni dan pelatihan, pengelola juga mulai menata kemandirian ekonomi warga.

Sebuah green house dengan sistem urban farming telah rutin memanen sayur tiga kali sepekan.

Hasilnya mencapai 750 kilogram per minggu, sebagian dijual di pasar modern.

“Ke depan kami kembangkan tanaman buah. Bukan sekadar bertani, tapi menciptakan produk bernilai jual,” kata Burhanudin.

Ia menyebut program ini sebagai bagian dari ikhtiar mengubah wajah rusun. Dari citra keras dan kumuh menjadi kawasan produktif dan berdaya.

Dengan berbagai terobosan itu, Festival Marunda bukan sekadar agenda tahunan.

Ia menjelma ruang harapan, tempat warga rusun merancang masa depan—dari hunian vertikal menuju generasi emas 2045. ***

Pos terkait