Angkot Bandung Menuju Era Digital, Satu Titik Jemput dalam Satu Aplikasi

Menuju Era Digital
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan saat menjelaskan modernisasi angkot kepada awak media. (Foto: Dok.Humas Pemkot Bandung)

TURISIAN.com  Di kota yang sejak lama lekat dengan predikat inovatif, Pemerintah Kota Bandung tengah menyusun langkah besar menuju era digital.

Mereka sedang menata ulang wajah transportasi publiknya.

Bukan sekadar mengecat ulang angkutan kota (angkot) atau mengganti klakson dengan nada lebih merdu. Ini soal bagaimana sebuah kota belajar menjadi cerdas bersama warganya.

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyebut rencana itu sebagai bagian dari visi “Bandung Utama”.

Sebuah cita-cita menjadikan Bandung sebagai smart city yang tidak hanya mengandalkan kecanggihan digital, tapi juga mengedepankan keadilan layanan publik.

“Angkot ke depan akan direvitalisasi menjadi angkot-angkot pintar. Di dalamnya akan ada layar informasi, sistem ETA, dan bisa dipesan lewat aplikasi,” kata Farhan dalam satu kesempatan wawancara.

Di atas kertas, konsep ini memang menggoda. Setiap unit angkot pintar akan dilengkapi sistem pelacakan posisi secara real time, layar digital, dan konektivitas berbasis kartu SIM.

Pengguna cukup membuka aplikasi, menentukan titik jemput dan tujuan. Mirip seperti memesan ojek daring, tapi dengan tarif tetap dan sistem langganan.

Skema berlangganan Rp100 ribu per bulan membuka akses tak terbatas bagi pengguna, menyasar kalangan yang selama ini menggantungkan hidup pada moda transportasi murah.

BACA JUGA: Gubernur Dedi Soroti Kemacetan di Pasar Cipanas, Jalan Dipakai Ngetem Angkot

Keberpihakan Sosial

Bukan sekadar efisien, tapi juga disebut-sebut sebagai bentuk keberpihakan sosial.

Sementara itu, pemerintah merancang proyek ini tidak berjalan sendirian. Koperasi angkot yang selama ini bertahan di tengah desakan ojek daring seperti Kopamas, Kobutri, dan Kobanter dilibatkan langsung dalam proses transisi.

Armada lama akan diganti kendaraan baru berstandar teknologi.

“Mobilnya harus baru, pakai layar dan akan dipasang SIM card,” ujar Farhan.

Tak hanya kendaraan. Ekosistem layanan juga dipikirkan. Pemerintah akan membangun halte khusus di 1.500 titik dengan jarak maksimal 600 meter satu sama lain.

Tiap halte dibekali Wi-Fi gratis dan colokan listrik. Ini bukan sekadar titik tunggu, melainkan ruang publik kecil.

Tempat warga bisa tetap terhubung dengan dunia digital. Bahkan jika mereka kehabisan kuota atau baterai.

Farhan menegaskan inklusivitas menjadi kunci.

“Kami ingin sistem ini bisa dinikmati semua warga. Bukan hanya yang punya smartphone terbaru atau saldo digital yang cukup,” katanya.

Dalam logika smart city yang kerap bias kelas, pernyataan itu penting.

Namun seperti biasa, ambisi besar menyimpan tantangan besar pula. Proyek ini ditaksir membutuhkan anggaran hingga Rp500 miliar.

Termasuk subsidi untuk angkot dan Bus Rapid Transit (BRT).

Target mulai beroperasi: 2026, dengan catatan pembahasan anggaran disetujui DPRD Kota Bandung.

Jika berhasil, Bandung bakal menjadi kota pertama di Indonesia yang mengintegrasikan moda transportasi publik. Ride-sharing, dan sistem langganan dalam satu platform pintar.

Lebih dari sekadar transformasi angkot, ini bisa menjadi model bagaimana kota merancang ulang relasi antara warga, teknologi, dan ruang publik.

Kota Bandung sedang menulis masa depannya. Dengan satu layar, satu aplikasi, dan satu angkot baru yang tak sekadar mengangkut penumpang.

Tetapi juga membawa harapan akan transportasi yang lebih adil, manusiawi, dan berpihak pada rakyat. ***

Pos terkait