IDCA Desak Presiden Cabut Izin Tambang di Raja Ampat, Merusak Wisata Laut

IDCA
Species ikan "Nemo" di kawasan Raja Ampat ini terancam punah oleh kegiatan penambangan Nikel. (Foto: Dok.Unsplash.com)

TURISIAN.com – Asosiasi Pengusaha Wisata Selam Indonesia (Indonesia Divetourism Company Association/IDCA) mendesak Presiden Prabowo Subianto.

Mereka minta Presiden segera mencabut secara permanen izin pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Aktivitas tambang nikel yang belakangan muncul dinilai menjadi ancaman serius terhadap masa depan wisata bahari kelas dunia di wilayah tersebut.

“Kami meminta Presiden memerintahkan pencabutan permanen, bukan sekadar penangguhan sementara,” ujar Ketua Umum IDCA, Ebram Harimurti, dalam surat terbuka, kemarin.

Surat terbuka bernomor 001/EXT/IDCA/VI/2025 itu bertajuk Perlindungan Kawasan Raja Ampat dari Ancaman Tambang Nikel.

Menurut Ebram, aktivitas tambang berada di wilayah penyangga sekitar Pulau Kawe dan Wayag. Zona yang mencakup jalur migrasi satwa laut, termasuk manta ray di Eagle Rock.

“Tumpukan sedimen dari tambang bisa terbawa arus laut dan merusak terumbu karang serta mengancam habitat laut penting,” katanya.

Ebram tak menampik bahwa lokasi tambang tidak berada di inti kawasan perlindungan.

Namun, ia mengingatkan dampaknya tak bisa diremehkan. Lumpur tambang yang menutupi sinar matahari bawah laut berisiko menghancurkan ekosistem.

“Fakta ini sangat mengerikan bagi pelaku wisata alam. Bayangkan jika kami harus menjelaskan ini kepada wisatawan internasional yang mengagungkan Raja Ampat sebagai The World Class Diving Site in the Coral Triangle,” paparnya.

Reputasi di Ujung Tanduk

Dalam kacamata pelaku wisata, aktivitas pertambangan bukan hanya persoalan lingkungan, tapi juga reputasi.

“Indonesia bisa kehilangan muka di mata dunia. Ini bukan sekadar debat soal ekonomi, ini soal jati diri bangsa yang menjual keindahan alamnya sebagai kekuatan pariwisata,” kata Ebram.

Ia memahami bahwa pembangunan nasional menuntut pendekatan multisektor. Namun, menurutnya, tidak semua wilayah cocok untuk ditambang.

“Ini momentum untuk menunjukkan bahwa Indonesia bisa menyelaraskan kepentingan industri dengan konservasi. Harus ada solusi menang-menang.”

IDCA pun mendesak pemerintah memperluas zona larangan (no take zone) dan zona penyangga (buffer zone) di antara Pulau Kawe dan Wayag.

Selain itu, mereka menuntut penguatan penegakan hukum atas zonasi konservasi yang melarang segala bentuk aktivitas ekstraktif.

Dorongan pada Ekowisata dan Ekonomi Hijau

IDCA juga menyoroti potensi ekonomi lain: ekowisata. Mereka mendorong pemerintah memperkuat ekonomi hijau berbasis masyarakat lokal, nelayan, dan komunitas adat.

“Libatkan masyarakat dalam pengawasan kawasan. Jangan biarkan pembangunan berjalan tanpa inklusivitas,” kata Ebram.

Ia meyakini, pembangunan sejati tidak boleh mengorbankan aset alam dan budaya yang tak tergantikan.

“Ini momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam pembangunan hijau yang adil dan lestari.”

Wisata Alam, Andalan Pariwisata Nasional

Ebram mengutip data Kementerian Pariwisata yang menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen daya tarik wisata Indonesia bersumber dari alam.

“Pariwisata nasional bertumpu pada kelestarian alam. Mengorbankan itu sama saja dengan memotong dahan tempat kita berteduh.”

Ia menambahkan, studi UNDP dan BRIN pada 2021 menunjukkan bahwa pendekatan konservasi berbasis masyarakat terbukti memberikan manfaat ekonomi nyata tanpa merusak lingkungan.

Pada 2024, sedikitnya 30 ribu wisatawan mengunjungi Raja Ampat.

Sekitar 70 persen di antaranya merupakan turis mancanegara yang menyumbang lebih dari Rp150 miliar untuk Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Raja Ampat.

“Nilai ekonomi ini hanya permukaan. Jauh di bawahnya ada ekosistem yang menopang ekonomi lokal dalam jangka panjang.”

Papua, sejak 2018, telah ditetapkan sebagai provinsi konservasi berdasarkan komitmen para gubernurnya.

Maka, pembangunan di wilayah ini seharusnya tunduk pada prinsip-prinsip konservasi dan keberlanjutan.

Berdasarkan data UPTD BLUD Pengelolaan Kawasan Perairan Raja Ampat, luas kawasan konservasi di wilayah ini mencapai 2.000.109 hektare. Yakni, mencakup tujuh zona perlindungan, termasuk Selat Dampier, Misool, Kepulauan Ayau-Asia, dan Fam.

“Raja Ampat bukan sekadar kebanggaan nasional. Ia simbol konservasi laut dunia. Menempatkan tambang nikel di tengah-tengahnya adalah bentuk kontradiksi yang tidak bisa ditoleransi,” kata Ebram. ***

Pos terkait