TURISIAN.com – Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak peluru aparat menembus tubuh empat mahasiswa Universitas Trisakti. Namun, gema perjuangan mereka tak pernah benar-benar padam.
Di sudut Jakarta Barat, tepatnya di Kampus A Universitas Trisakti, Grogol, sebuah ruang sunyi menyimpan ingatan kolektif bangsa, yakni Museum Tragedi 12 Mei 1998.
Museum ini tak ubahnya monumen perlawanan. Ia berdiri tak jauh dari Halte TransJakarta Universitas Trisakti. Hanya beberapa langkah kaki dari jalan protokol.
Tak ada loket tiket, tak ada pungutan biaya. Di sini, ingatan tentang reformasi bukan komoditas, melainkan pelajaran.
Menuju Titik Tragedi
Perjalanan menuju museum bisa dimulai dari Stasiun KRL Grogol, sekitar 1,2 kilometer jauhnya. Dari sini, ada beragam pilihan transportasi.
Ojek daring bisa membawa Anda langsung ke gerbang kampus dengan tarif sekitar Rp13.000–Rp15.000.
Alternatif lain, gunakan mikrotrans Jaklingko 04 rute Grogol–Tubagus Angke. Turun di Terminal Grogol, lalu lanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 130 meter ke dalam kampus.
Atau, naik bus TransJakarta koridor 9E rute Jelambar–Pasar Kebayoran. Turun di Halte Universitas Trisakti, tepat di depan lokasi museum.
Dari koridor utama TransJakarta, Anda juga bisa memilih koridor 9 (Pinang Ranti–Pluit) atau 9A (Cililitan–Grogol), lalu turun di Halte Grogol Reformasi. Jembatan penyeberangan menghubungkan Anda langsung ke kampus.
Museum, Ingatan, dan Luka
Di dalam museum, waktu seperti berhenti. Kaca-kaca tua masih memuat serpih memori yang belum kering.
Di baliknya, tersimpan barang-barang pribadi milik empat mahasiswa yang gugur: Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Ada jaket almamater, sepatu terakhir yang mereka kenakan, hingga tulisan tangan yang seolah berbicara langsung kepada siapa pun yang memandanginya.
Di dinding bertajuk In Memoriam, profil keempat martir reformasi ditulis lengkap. Tidak hanya sebagai korban, tapi sebagai manusia dengan cita-cita, harapan, dan rasa takut.
Di pojok ruangan, sebuah papan putih dan serpihan kaca—masih menyimpan bekas tembakan—jadi saksi bisu hari di mana damai dibalas peluru.
Semuanya dibiarkan dalam kondisi asli, sebagai pengingat betapa mahalnya harga demokrasi. ***