Pelarangan Study Tour Membuat ASITA Jawa Barat Khawatir, Ini Dampaknya

pelarangan study tour
Ketua ASITA DPD Jawa Barat, Daniel Guna Nugraha (tengah depan) saat memberikan keterangan pers kepada awak media, Jumat, 21 Febrauri 2025. (Foto: Turisian.com/Adisas)

TURISIAN.com – Kebijakan pelarangan study tour oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi serta penghematan anggaran perjalanan dinas oleh Presiden Prabowo Subianto mengguncang industri pariwisata.

Salah satu kekhawatiran datang dari Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (ASITA). Mereka  mencermati dampaknya, yakni,  bisnis perjalanan wisata berada di ujung tanduk.

“Karena sebagian besar segmen pasar kami adalah perjalanan study tour ini,” kata Ketua ASITA DPD Jawa Barat, Daniel Guna Nugraha dalam pernyataan persnya, Jumat 21 Februari 2025.

Namun, di balik keputusan ini, Daniel mengalukui, ada otokritik yang tak bisa diabaikan. Standar layanan pariwisata harus ditingkatkan.

“Termasuk, konsumen berhak mendapatkan pengalaman yang berkualitas sesuai biaya yang mereka keluarkan,” ujarnya.

Sementara itu, pendidikan di luar kelas memiliki nilai lebih dibanding sekadar rekreasi. Interaksi langsung dengan objek wisata mampu memperkaya pengalaman belajar siswa.

“Tak hanya menumbuhkan kreativitas, metode ini juga mengembangkan keterampilan sosial. Meningkatkan kesadaran lingkungan, serta mempererat hubungan siswa dan guru,” ujar Daniel..

Sedangkan, Gubernur Dedi Mulyadi mendorong wisata berbasis kearifan lokal. Mengapa harus jauh-jauh jika Jawa Barat memiliki destinasi unggulan?

BACA JUGA: KAI Mohon Maaf, Siapkan Perbaikan Sistem Pemesanan Tiket dan Tambahan Layanan untuk Lebaran

Dampak Ekonomi dan Strategi Adaptasi

Sayangnya, banyak sekolah lebih memilih ke luar daerah, padahal objek wisata budaya dan alam di Jawa Barat tak kalah menarik.

Kampung Naga di Tasikmalaya, misalnya, menawarkan pengalaman menganyam bambu dan bercocok tanam dengan cara tradisional.

Di Kampung Trusmi, Cirebon, siswa dapat memahami filosofi batik dan teknik pembuatannya. Di Plered, Purwakarta, mereka bisa belajar membuat gerabah, sedangkan di Keraton Sumedang Larang, siswa dapat menyelami sejarah kerajaan Sunda.

Menurut Daniel, efek kebijakan ini tak hanya dirasakan di Jawa Barat, tetapi juga di daerah lain seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali, yang selama ini bergantung pada kunjungan pelajar dari provinsi ini.

“Jika dibiarkan, dampaknya bisa berujung pada boikot wisata ke Jawa Barat,” tegas Daniel.

Oleh sebab itu, sebagai langkah strategis, ASITA mengajak para pemangku kepentingan untuk melirik pasar inbound.

Wisatawan dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand berpotensi besar. Destinasi unggulan seperti Kawah Putih, Tangkuban Perahu, perkebunan teh kuno, hingga Geopark Ciletuh memiliki daya tarik tersendiri.

Wisata petualangan seperti Via Ferrata Gunung Parang dan arung jeram Sungai Citarik juga memiliki nilai jual tinggi.

Disamping itu, ASITA juga  mendorong workshop dan pelatihan bagi pelaku usaha pariwisata di berbagai daerah.

Hal ini agar mereka tidak sekadar menjadi penonton, tetapi pemain utama dalam industri ini.

Kemitraan dengan pemerintah menjadi kunci dalam menyusun regulasi yang melindungi warisan budaya dan ekosistem alam.

Produk wisata berbasis ekoturisme dan keberlanjutan harus menjadi prioritas agar industri ini tetap lestari.

Dengan langkah-langkah strategis ini, industri pariwisata Jawa Barat diharapkan tidak hanya bertahan. Namun,  juga bangkit sebagai destinasi unggulan yang mampu menarik wisatawan dalam dan luar negeri. ***

 

Pos terkait