BKSDA Maluku Lepas Tujuh Satwa Dilindungi di Kaki Gunung Salahutu

Gunung Salahutu
Ilustrasi Burung Nuri di dalam sangkar. (IG)

TURISIAN.com – Sebanyak tujuh satwa dilindungi kembali ke alam liar dalam sebuah pelepasliaran di kaki Gunung Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah.

Aksi konservasi ini dipimpin oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku, Senin 20 Januari 2025.

Rincian satwa yang dilepas meliputi lima ekor nuri bayan (Ecdlectus roratus), satu ekor ular sanca batik (Phyton reticulatus), dan satu ekor ular mono pohon (Candoia carinata).

Sementara itu, Kepala BKSDA Maluku, Danny H. Pattipeilohy, menyebut satwa-satwa tersebut hasil operasi pengawasan terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar ilegal.

“Satwa-satwa ini diperoleh dari berbagai sumber, termasuk operasi pengawasan di Pelabuhan Laut Yos Sudarso Ambon,” ujar Danny di Ambon.

. Translokasi dari BKSDA Kalimantan Timur, hingga penyerahan sukarela dari masyarakat dan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Ambon,” sambungnya.

Sebelum dilepasliarkan, satwa-satwa itu menjalani pemeriksaan ketat. Mereka dirawat, dikarantina, dan direhabilitasi di Pusat Konservasi Satwa (PKS) Kepulauan Maluku.

“Kami memastikan kondisi fisik dan mental satwa sehat, serta sifat liarnya telah pulih,” lanjutnya.

Sedangkan untuk, lokasi pelepasliaran dipilih di kawasan hutan lindung Gunung Salahutu.

Hutan ini dikenal memiliki kondisi ekosistem yang terjaga dengan pepohonan tinggi dan lebat, ideal untuk kehidupan satwa.

BACA JUGA: Hudoq, Tarian Mistis Penuh Makna Khas Suku Dayak Kalimantan Timur

Kawasan Hutan Lindung

Danny menyampaikan apresiasi kepada berbagai pihak yang terlibat.

“Proses ini memerlukan waktu dan kerja sama dari banyak pihak. Kami berharap ini jadi contoh bagi masyarakat untuk menjaga keberlangsungan satwa endemik Maluku,” kata dia.

Nuri bayan, ular sanca batik, dan ular mono pohon sendiri merupakan satwa liar dengan penyebaran alami di wilayah timur Indonesia, seperti Maluku dan Papua.

Di Maluku, mereka dapat ditemukan di Pulau Ambon, Buru, Seram, dan Kepulauan Aru.

Menurut Danny, pelepasliaran ini bukan sekadar mengembalikan satwa ke habitat aslinya, melainkan juga upaya menjaga kelangsungan populasi satwa endemik.

“Semoga satwa-satwa ini cepat beradaptasi dan berkembang biak di lingkungan barunya,” harapnya.

Ia juga mengingatkan soal ancaman hukum bagi mereka yang memperjualbelikan satwa dilindungi.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990, pelaku dapat dihukum penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. ***

Pos terkait